Jurnal Prodigy
Jurnal “Prodigy” merupakan jurnal perundang-undangan atau ilmiah yang memuat artikel hasil penelitian, kajian dan pemikiran dalam bidang perundang-undangan dan hukum.
Dikelola dan diterbitkan oleh Pusat Perancangan Undang-Undang di Badan Keahlian DPR RI dua kali dalam setahun yaitu bulan Juli dan Desember. Jurnal “Prodigy” diharapkan menjadi salah satu media untuk mempublikasikan pemikiran dari para praktisi atau akademisi di bidang perundang-undangan dan hukum, maupun yang menaruh perhatian terhadap isu-isu legislasi di Indonesia.
Isu :
Isu :
Kebutuhan lapangan kerja baru merupakan keniscayaan untuk memastikan hak bekerja, mendapatkan imbalan, serta perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja sebagai hak konstitusional setiap warga negara. Pengaturan kluster ketenagakerjaan dalam UU tentang Cipta Kerja merupakan salah satu cara pemerintah membantu dunia usaha dan pekerja. Penulisan ini mengangkat permasalahan bagaimana konsep materi muatan perubahan UU tentang Ketenagakerjaan dalam UU Tentang Cipta Kerja dan apakah perubahan UU tentang Ketenagakerjaan sesuai dengan hakekat hukum ketenagakerjaan. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui konsep materi muatan perubahan UU Tentang Ketenagakerjaan dalam UU tentang Cipta Kerja dan perubahan UU tentang Ketenagakerjaan tetap sesuai dengan hakekat hukum ketenagakerjaan atau tidak. Penulisan ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan. Konsep materi muatan perubahan UU Tentang Ketenagakerjaan dalam UU tentang Cipta Kerja terdiri atas pengubahan, penghapusan, atau penetapan pengaturan baru terhadap beberapa ketentuan yang diatur dalam UU tentang Ketenagakerjaan. Terdapat 68 angka perubahan dengan rincian keseluruhan mengubah 31 pasal, menghapus 29 pasal, dan menyisipkan 13 pasal baru. Benang merah pengaturan tersebut berupa pendelegasian materi muatan, penyesuaian perizinan, dan perubahan secara konsep/esensi pengaturan. Perubahan yang belum sesuai hakekat hukum ketenagakerjaan, diantaranya terkait pengaturan istirahat panjang dan jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu yang diserahkan mekanismenya kepada kesepakatan para pihak. Hal ini menunjukkan berkurangnya peran atau kendali negara terhadap hukum ketenagakerjaan karena hakekat hukum ketenagakerjaan, melindungi pihak yang lemah (pekerja/buruh) dari kekuasaan pengusaha. Setiap rezim pemerintahan memiliki sudut pandang atau perspektifnya dalam memperbaiki dunia ketenagakerjaan karena sulitnya mempertemukan kepentingan pekerja/buruh dan pengusaha secara adil sesuai penafsiran konstitusi dalam mensejahterakan seluruh bangsa Indonesia tidak terkecuali pekerja/buruh dan pengusaha.
Kata kunci: arah pengaturan, cipta kerja, ketenagakerjaan
Isu :
Perkembangan paradigma konsep pemidanaan saat ini telah mengarah kepada paradigma keadilan restoratif (restorative justice). Berkembangnya paradigma keadilan restoratif yang fokus pada kepentingan korban dan pelaku merupakan bentuk respon terhadap paradigma keadilan restitutif dan keadilan retributif yang dinilai belum efektif dan hanya fokus kepada pelaku serta tidak memperhatikan kepentingan korban. Namun demikian pengaturan mengenai penyelesaian perkara pidana melalui keadilan restoratif masih parsial dan belum diatur dalam undang-undang. Penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan mendasarkan pada teori tujuan pidana. Perlunya suatu instrumen hukum dalam bentuk undang-undang yang mengatur mengenai penyelesaian perkara pidana melalui keadilan restoratif didasarkan pada 3 (tiga) hal yaitu, pertama, perlunya terobosan baru mengingat pendekatan restitutif dan keadilan retributif yang dinilai belum efektif. Kedua, masih parsial dan belum komprehensifnya pengaturan penyelesaian perkara pidana melalui keadilan restoratif. Ketiga, infrastruktur rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan yang tidak layak menampung narapidana. Oleh karena itu perlu pengaturan penyelesaian perkara pidana melalui keadilan restoratif baik dalam rancangan hukum pidana materil maupun hukum pidana formil yang akan datang.
Kata kunci: pemidanaan, keadilan restoratif, keadilan restitutif, dan keadilan retributif
Isu :
Pelindungan data pribadi merupakan sebuah kebutuhan di era kemajuan sistem teknologi dan informasi belakangan ini. Kewajiban pelindungan data pribadi melalui undang-undang adalah upaya memberikan pelindungan hak asasi manusia sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi. Berbagai permasalahan di bidang data dan informasi yang terjadi membuat kebutuhan undang-undang di bidang pelindungan data pribadi semakin penting untuk melindungi warga negara Indonesia dari potensi pelanggaran dan kejahatan data pribadi serta menegaskan kedaulatan Indonesia di dunia internasional. Tulisan ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran permasalahan di bidang data pribadi serta materi muatan yang harus diatur dalam draf Rancangan Undang-Undang tentang Pelindungan Data Pribadi. Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode analisis yuridis normatif. Di kemajuan teknologi dan informasi, banyak sekali permasalahan di bidang data yang dialami oleh hampir seluruh lapisan masyarakat, sehingga regulasi di bidang Pelindungan Data Pribadi merupakan kebutuhan yang mendesak bagi Indonesia. Beberapa materi muatan yang harus diatur adalah definisi data pribadi, hak pemilik data pribadi, kewajiban pengendali dan pemroses data pribadi, pemrosesan data pribadi, serta otoritas pelindungan data pribadi. Rancangan Undang-Undang tentang Pelindungan Data Pribadi merupakan regulasi yang seharusnya menjadi prioritas untuk disahkan di era kemajuan teknologi yang sangat massif saat ini.
Kata kunci: pelindungan data pribadi, regulasi, hak asasi manusia
Isu :
Kemajuan teknologi informasi di era digital memberikan berbagai dampak salah satunya di sektor ekonomi yang ditandai dengan munculnya finansial teknologi. Keberadaan finansial teknologi ini memiliki keunggulan dan juga permasalahan. Permasalahan pada industri teknologi finansial adalah terkait implikasi hukum belum terbentuknya undang-undang yang mengatur tentang teknologi finansial dan bagaimana usulan rumusan materi muatan penyempurnaan terhadap pengaturan terkait teknologi finansial di tataran peraturan setingkat undang-undang. Penelitian ini menggunakan metode penulisan yuridis normatif. Hasil dari penelitian ini yaitu implikasi hukum belum terbentuknya undang-undang yang mengatur tentang teknologi finansial adalah tidak ada perlindungan hukum yang kuat kepada nasabah dan oknum teknologi finansial ilegal tidak bisa dituntut secara pidana. Usulan rumusan materi muatan pengaturan terkait teknologi finansial di tataran peraturan setingkat undang-undang yaitu materi muatan pengaturan terkait perlindungan data pribadi yang setidak-tidaknya normanya dapat mengadopsi pada ketentuan General Data Protection Regulation ke dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Data Pribadi dan materi muatan pengaturan terkait sanksi pidana dan/atau denda bagi teknologi finansial ilegal yang normanya diatur ke dalam Rancangan Undang-Undang tentang Reformasi, Pengembangan, dan Penguatan Sektor Keuangan.
Kata kunci: teknologi finansial, jasa keuangan, teknologi informasi
Isu :
Baik di Indonesia maupun Amerika Serikat, persekongkolan tender merupakan pelanggaran yang paling mendominasi di antara pelanggaran lainnya dalam hukum persaingan usaha. Dalam penyusunannya, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU tentang Antimonopoli) sangat dipengaruhi oleh antitrust law Amerika Serikat, sehingga untuk mendalami UU tentang Antimonopoli harus mempelajari antitrust law Amerika Serikat. Lebih lanjut, penegakan hukum persekongkolan tender di Indonesia memiliki kemiripan dengan Amerika Serikat yaitu terletak pada lembaga pengawas persaingan usaha. Tulisan ini mengangkat permasalahan bagaimana pengaturan larangan persekongkolan tender berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan Amerika Serikat serta bagaimana kewenangan otoritas pengawas persaingan usaha berdasarkan hukum di Indonesia dan Amerika Serikat. Tujuan penulisan ini, yaitu untuk menggambarkan perbandingan pengaturan larangan persekongkolan tender berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan Amerika Serikat serta untuk mendeskripsikan perbandingan kewenangan otoritas pengawas persaingan usaha berdasarkan hukum di Indonesia dan Amerika Serikat. Metode penulisan yang digunakan dalam pembahasan adalah metode analisis yuridis normatif, yang menggunakan bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan, buku, dan jurnal. Larangan persekongkolan tender dalam hukum persaingan usaha di Indonesia diatur dalam ketentuan Pasal 22 UU tentang Antimonopoli sedangkan di Amerika Serikat persekongkolan tender di atur dalam ketentuan Pasal 1 The Sherman Antitrust Act. Di Indonesia, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) merupakan badan yang berwenang menyelesaikan perkara persekongkolan tender sedangkan di Amerika Serikat adalah Federal Trade Commision dan Antitrust Division-Department of Justice.
Kata kunci: Larangan Persekongkolan Tender, Perbandingan Hukum, Indonesia, Amerika Serikat
Isu :
Lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja merupakan upaya pemerintah dalam mendukung pengembangan Usaha, Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Dukungan ini menjadi sangat penting untuk mendorong perekonomian domestik dan meningkatkan daya saing Indonesia dalam perdagangan internasional. Tujuan dalam penulisan ini yaitu menganalisis hubungan UU tentang Ciptaker dengan pengembangan UMKM, dan implikasi terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tulisan ini disusun dengan pendekatan kualitatif dan menggunakan metode melalui studi kepustakaan. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa UU tentang Ciptaker menjawab tujuh persoalan utama yang dihadapi pelaku usaha untuk pengembangan UMKM, meningkatkan nilai tambah ekonomi dan berdaya saing tinggi, serta meningkatkan wirausaha baru. Selain itu juga berimplikasi terhadap APBN yaitu adanya pengalokasian Dana Alokasi Khusus (DAK) bagi UMKM. Meskipun menjadi beban APBN pada tahap awal DAK, potensi manfaat yang akan diperoleh bagi negara cukup besar meliputi tenaga kerja maupun produk domestik bruto dan ekspor.
Kata kunci: uu tentang cipta kerja, usaha mikro kecil dan menengah, anggaran pendapatan dan belanja negara, dana alokasi khusus
Isu :
Corona Virus Deseases 2019 (Covid-19) telah mewabah di Indonesia yang menimbulkan terjadinya pandemi. Dalam menanggulangi wabah penyakit Covid-19 tersebut dilakukan pemberian vaksin terhadap masyarakat Indonesia secara masal. Vaksin ini dikembangkan untuk memberikan kekebalan di tubuh manusia, dengan tujuan mencegah semakin besarnya angka penularan Covid-19. Pemberian vaksin Covid-19 secara besar akan menghasilkan kepentingan ekonomi yang sangat besar juga. Adanya kepentingan ekonomi tersebut berpotensi menimbulkan perbuatan melawan hukum. Potensi masalah tersebut harus menjadi perhatian supaya kepentingan ekonomi tersebut tidak menyebabkan kerugian bagi masyarakat. Vaksin yang diberikan harus memenuhi syarat dan terdaftar pada Badan Pengawas Obat dan Makanan. Apabila terjadi perbuatan melawan hukum dalam pelaksanaan tindakan medis pemberian vaksin Covid-19 kepada masyarakat, hal tersebut masuk dalam ranah hukum perlindungan konsumen. Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode penulisan doktrinal (normatif). Pengaturan hukum perlindungan konsumen di Indonesia membutuhkan beberapa perubahan untuk mengakomodir perlindungan konsumen vaksin Covid-19. Dalam undang-undang perlindungan konsumen Indonesia perlu mengakomodasi beberapa aturan tambahan meliputi upaya hukum gugatan kelompok terhadap badan publik dan/atau negara, kewajiban produsen luar negeri memiliki perseroan perwakilan di Indonesia, dan upaya untuk meminta pertanggungjawaban hukum dari produsen yang berada di luar negeri.
Kata kunci: hukum perlindungan konsumen, vaksin Covid-19, upaya hukum perlindungan konsumen
Isu :
Omnibus Law adalah metode dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang berkembang di negara dengan sistem common law. Di Indonesia, omnibus law telah diterapkan dalam menyusun empat peraturan perundang-undangan. Namun demikian dalam perkembangannya pendekatan omnibus law tersebut tidak hanya diterapkan dalam pembentukan undang-undang, tapi juga dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang dibentuk atas dasar adanya pendelegasian dari undang-undang. Hal itu menyebabkan kerumitan dalam melaksanakan undang-undang, sebab peraturan delegasi seharusnya tidak dapat digabungkan dengan peraturan delegasi lainnya karena dibentuk untuk menjalankan dan memperjelas pengaturan yang terdapat di peraturan yang memberikan delegasi. Oleh sebab itu, omnibus law seharusnya hanya diterapkan dalam membentuk undang-undang, bukan dalam pembentukan peraturan delegasi karena hal itu hanya akan menyebabkan kerumitan dalam memahami peraturan yang seharusnya dapat dipahami dengan mudah. Dalam tulisan ini akan diuraikan mengenai problematika penerapan pendekatan omnibus law dalam penyusunan peraturan delegasi. Adapun metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode yuridis normatif melalui kajian terhadap hukum normatif.
Kata Kunci: Omnibus Law, Undang-Undang, Peraturan Delegasi
Isu :
Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang telah diundangkan sejak tahun 2006 memberikan pemahaman akan mendesaknya kebutuhan pelindungan terhadap saksi dan korban pada proses peradilan pidana. Kebutuhan ini dilandasi oleh kenyataan akan banyaknya kasus yang tidak dapat diungkap dan selesai disebabkan korban tidak bersedia memberikan kesaksian kepada penegak hukum akibat ancaman dari pihak tertentu. Namun, peraturan perundang-undangan yang ada ternyata belum memberikan cukup ruang bagi para stakeholders untuk menjalankan perannya dalam melakukan pelindungan kepada saksi dan korban kejahatan di Indonesia. Dalam implemetasinya, hal ini mengakibatkan hak-hak saksi dan korban terkesan masih sulit dijalankan dan direalisasikan dengan baik. Setelah dilakukan tinjauan lebih jauh mengenai hal ini, sulitnya implementasi tersebut bukan semata-mata karena ketidaktahuan dan ketidakmauan penegak hukum, akan tetapi karena adanya kekuranglengkapan dalam pengaturan mengenai saksi dan korban dalam peraturan perundang-undangan. Sulitnya implementasi serta kurang lengkapnya peraturan mengenai hal ini menjadi alasan yang cukup mempengaruhi kinerja kelembagaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang belum dapat menjalankan perannya dengan maksimal untuk pelindungan saksi dan korban di Indonesia. Dengan menggunakan metode penelitian hukum doktrinal dan data sekunder maka tulisan ini memuat bahasan mengenai penguatan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban demi terwujudnya kepastian dan jaminan yang kuat bagi saksi dan korban dalam proses peradilan pidana.
Kata kunci: Penguatan peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Pelindungan saksi dan korban pidana, Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan korban
Isu :
Aparatur Sipil Negara (ASN) Pegawai Negeri Sipil (PNS) memiliki peran penting dalam menentukan keberhasilan arah birokrasi Pemerintah. Bila akan menjadi pemimpin, tentu harus melewati jenjang kenaikan pangkat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dengan mempertimbangkan berbagai faktor. Namun, masih terdapat kondisi yang memerlukan perlindungan dalam menata jenjang karier sebagai ASN PNS yang ingin menaikan pangkat ke jenjang yang lebih tinggi melalui kenaikan pangkat pilihan. Permasalahan dalam tulisan ini adalah bagaimana pengaturan kenaikan pangkat pilihan pada ASN PNS berdasarkan beberapa peraturan perundang-undangan, serta bagaimana hubungan antara kenaikan pangkat pilihan dengan motivasi kerja pada ASN PNS. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan kenaikan pangkat pilihan pada ASN PNS berdasarkan beberapa peraturan perundang-undangan serta hubungan antara kenaikan pangkat pilihan dengan motivasi kerja pada ASN PNS. Penulisan ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan. Hasil analisis menunjukan bahwa tidak ada norma yang mengatur secara khusus mengenai kenaikan pangkat pilihan dalam UU tentang ASN. Namun, pengaturan kenaikan pangkat dalam Pasal 362 dan Pasal 363 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS (PP No. 11 Tahun 2017) menjadi ambigu karena kedua pasal tersebut membuka ruang interpretasi. Kesimpulan kajian menunjukan bahwa Peraturan Gubernur Nomor 42 Tahun 2017 tentang Izin Belajar, Ujian Kenaikan Pangkat Penyesuaian Ijazah dan Ujian Kenaikan Pangkat Peningkatan Pendidikan, dan Ujian Dinas (Pergub Provinsi DKI Jakarta No.42 Tahun 2017) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Gubernur Nomor 70 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur Nomor 42 Tahun 2017 tentang Izin Belajar, Ujian Kenaikan Pangkat Penyesuaian Ijazah dan Ujian Kenaikan Pangkat Peningkatan Pendidikan, dan Ujian Dinas (Pergub Provinsi DKI Jakarta No.70 Tahun 2019) yang mengatur kenaikan pangkat pilihan dan telah terdapat harmonisasi pengaturan terkait kenaikan pilihan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mendasarinya. Hal ini memberikan ketenangan dalam bekerja karena telah terdapat kepastian hukum sehingga diharapkan memberikan motivasi agar dapat bekerja secara optimal.
Kata kunci: kenaikan pangkat pilihan, ASN PNS, peraturan perundang-undangan
Isu :
Kemajuan teknologi informasi komunikasi menjadikan berbagai infrastruktur bergantung pada adanya teknologi sibernetika. Oleh karena itu, muncul ancaman-ancaman terhadap sistem tersebut. Salah satu ancaman yang dibahas dalam kaitan studi hukum humaniter internasional adalah perang sibernetika, yang dilakukan oleh subyek hukum internasional. Ancaman tersebut berupa serangan siber (malware), misalnya Sina American Case (2001), Titan Rain Case (2003-2006), dan Stuxnet Worm Case (2010). Serangan siber tersebut dikoordinasikan dengan angkatan bersenjata atau militer guna memperoleh keunggulan terhadap lawan. Namun terhadap ancaman tersebut belum ada rezim hukum yang mengatur batasan-batasan tindakan serangan siber layaknya hukum humaniter internasional. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif yaitu penelitian dengan menggunakan data sekunder yang meliputi konvensi-konvensi, keputusan-keputusan, kebiasaan-kebiasaan hukum internasional, teori hukum, serta dokumen-dokumen yang berhubungan dengan permasalahan. Serangan sibernetika yang dikoordinasikan dengan kepentingan militer memungkinkan munculnya perang sibernetika. Sampai saat ini belum ada ketentuan hukum internasional yang mengatur perang sibernetika sebagai sebuah konflik bersenjata internasional, namun terdapat analogi korelasi prinsip atau asas dalam hukum humaniter internasional terhadap perang sibernetika.
Kata kunci: sibernetika, perang, konflik bersenjata internasional, hukum humaniter internasional
Isu :
UU tentang Cipta Kerja yang disusun dengan metode omnibus law banyak mengubah undang-undang termasuk UU tentang Persaingan Usaha. Salah satu substansi yang diubah dalam UU tentang Cipta Kerja yaitu mengenai upaya hukum terhadap Putusan KPPU. Pengaturan mengenai upaya hukum terhadap Putusan KPPU juga diatur dalam PP No. 44 Tahun 2021, PERMA No. 3 Tahun 2019 dan SEMA No. 1 Tahun 2021. Peraturan tersebut masih menimbulkan permasalahan terkait perbedaan pengaturan jangka waktu dalam upaya hukum terhadap Putusan KPPU. Berdasarkan permasalahan tersebut, penulis akan mengkaji mengenai pengaturan upaya hukum terhadap Putusan KPPU serta legalitas pengaturannya ditinjau dari perspektif pembentukan peraturan perundang-undangan. Tulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan mengkaji bahan hukum kepustakaan atau data sekunder. Pada saat ini, pengaturan mengenai upaya hukum terhadap Putusan KPPU terdapat di beberapa peraturan yaitu UU tentang Cipta Kerja, PP No. 44 Tahun 2021, PERMA No. 3 Tahun 2019, dan SEMA No. 1 tahun 2021. Peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai upaya hukum terhadap Putusan KPPU belum mencerminkan asas kejelasan rumusan dan asas ketertiban dan kepastian hukum. Oleh karena itu, pengaturan mengenai jangka waktu dalam upaya hukum terhadap Putusan KPPU perlu diperjelas rumusannya melalui revisi UU tentang Persaingan Usaha.
Kata kunci: upaya hukum, putusan kppu, pembentukan peraturan perundang-undangan
Isu :
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (UU No. 7 Tahun 2020), merupakan produk hukum yang terbaru dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU No. 24 Tahun 2003). Sebagai undang-undang terbaru perubahan yang ada dalam undang-undang ini diharapkan dapat menyempurnakan kekurangan yang ada selama ini salah satunya yakni mengenai dasar hukum putusan Mahkamah Konstitusi yang bermakna konstitusional bersyarat. Selama ini belum ada dasar kewenangan bagi Mahkamah Konstitusi untuk menerbitkan putusan semacam itu, maka timbul permasalahan yakni bagaimanakah UU No. 7 Tahun 2020 dapat menjadi dasar hukum pengenaan putusan yang bermakna konstitusional bersyarat, begitu juga bagaimanakah pelaksanaan selama ini, dan bagaimanakah solusi hukum bagi Mahkamah Konstitusi untuk kedepannya. Tujuan tulisan ini untuk mendapatkan jawaban dari sejumlah pertanyaan tersebut karena saat ini Mahkamah Konstitusi masih sering menerbitkan putusan konstitusional bersyarat. Metode penulisan ini adalah yuridis normatif. Penulis mencoba menjawab permasalahan yang ada dengan pendekatan studi kepustakaan. Berdasarkan pembahasan diketahui bahwa UU No. 7 Tahun 2020 masih belum memiliki dasar hukum bagi Mahkamah Konstitusi untuk menerbitkan putusan yang konstitusional bersyarat. Adapun bentuk putusan yang semacam ini pertama kali digunakan dalam Putusan MK Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-III/2005 perihal pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Untuk solusi kedepannya karena Indonesia menganut sistim civil law maka diperlukan adanya perubahan undang-undang. Untuk itu disimpulkan bahwa karena UU No. 7 Tahun 2020 belum memberikan dasar hukum yang cukup maka perlu kedepannya ada perubahan keempat dari UU No. 24 Tahun 2003.
Kata kunci: dasar hukum, civil law, putusan konstitusional bersyarat
Isu :
Saat ini Komisi PBB untuk Narkotika telah mengambil keputusan mengeluarkan ganja dari golongan IV menjadi golongan 1 dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961 sehingga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan medis. Di Indonesia, UU tentang Narkotika ganja masuk dalam golongan 1 yang artinya ganja hanya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan penelitian dan tidak dapat digunakan untuk terapi. Dengan adanya perubahan penggolongan narkotika dalam konvensi tersebut maka bagaimana dengan posisi ganja yang diatur dalam UU tentang Narkotika. Permasalahan dalam penulisan ini yaitu bagaimana perubahan penggolongan narkotika khususnya untuk ganja dari golongan 1V ke golongan I dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961 memengaruhi posisi ganja dalam UU tentang Narkotika dan apakah dengan perubahan tersebut UU tentang Narkotika masih sesuai atau tidak dengan kebutuhan hukum dan perkembangan zaman. Tujuan penulisan yaitu untuk mengetahui bagaimana perubahan penggolongan narkotika untuk ganja dalam Konvensi Tunggal Narkotika memengaruhi terhadap penggolongan ganja dalam UU tentang Narkotika dan apakah dengan perubahan penggolongan Narkotika tersebut UU tentang Narkotika masih sesuai atau tidak dengan kebutuhan hukum dan perkembangan zaman. Metode penulisan ini menggunakan metode penulisan yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dan kajian pustaka atau literatur sebagai bahan sekunder. UU tentang Narkotika mengatur bahwa perubahan penggolongan narkotika berdasarkan pada kesepakatan internasional dan kepentingan nasional. Kepentingan nasional artinya mempertimbangkan aspek filosofis, sosiologis, yuridis dan karakteristik masyarakat Indonesia. Perubahan penggolongan narkotika dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961 tidak serta merta memengaruhi penggolongan narkotika untuk ganja dalam UU tentang Narkotika karena harus mempertimbangkan juga dari aspek kepentingan nasional. Jika dilihat dari aspek kepentingan nasional maka UU tentang Narkotika masih sesuai dengan kebutuhan hukum dan perkembangan zaman.
Kata kunci: Narkotika, Ganja, Konvensi, UU tentang Narkotika
Isu :
Mekanisme pembentukan undang-undang harus dilakukan secara transparan agar masyarakat dapat berpartisipasi memberikan masukan dalam suatu permasalahan. Salah satu fungsi DPR RI yaitu fungsi legislasi, membentuk UU. Materi muatan UU yang ditujukan bagi kepentingan masyarakat luas tentu harus membuka masuknya aspirasi masyarakat agar menghasilkan suatu UU yang demokratis, aspiratif, dan partisipatif. Setjen DPR RI sebagai supporting system berfungsi memberikan dukungan pelaksanaan tugas DPR RI dalam menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 72 huruf g UU tentang MD3. Penulisan ini mengangkat permasalahan bagaimana penyerapan aspirasi atau partisipasi masyarakat dalam bidang legislasi di DPR RI dan bagaimana upaya Setjen DPR RI sebagai supporting system mendukung DPR RI melaksanakan tugas menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 72 huruf g UU tentang MD3. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui penyerapan aspirasi atau partisipasi masyarakat dalam bidang legislasi di DPR RI dan upaya Setjen DPR RI mendukung DPR RI melaksanakan tugas menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 72 huruf g UU tentang MD3. Penulisan ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan. Penyerapan aspirasi/partisipasi masyarakat dalam bidang legislasi di DPR RI dapat dilakukan pada tiga tahap pembentukan UU, yaitu pada tahap penyusunan, pembahasan, dan tahap pelaksanaan UU. Dukungan yang dilakukan Setjen DPR RI dalam pelaksanaan tugas DPR RI sesuai Pasal 72 huruf g UU tentang MD3 yaitu dengan mengoptimalkan layanan penyaluran delegasi masyarakat agar menjadi lebih efektif dan efisien dengan menghadirkan SILUGAS, yaitu program optimalisasi layanan penyaluran delegasi masyarakat berbasis elektronik.
Kata kunci: aspirasi masyarakat, legislasi, Sekretariat Jenderal DPR RI
Isu :
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pada saat ini masih dipergunakan untuk menangani semua persoalan hukum di dunia siber. Perkembangan dunia informasi melalui internet semakin hari semakin canggih termasuk potensi bahaya yang ditimbulkan. Salah satu bahaya yang perlu diwaspadai yakni mengenai adanya potensi terorisme siber. Terkait dengan permasalahan tersebut, tulisan ini menganalisis kegunaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam menangani terorisme siber. Tulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Dalam pembahasan akan diketahui bahwa ternyata begitu luas tantangan ke depan dalam dunia siber ini. Adapun mengenai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sebetulnya sudah terdapat sejumlah norma yang dapat digunakan untuk manangani terorisme siber. Hal yang lebih baik adalah bahkan dibentuk undang-undang khusus untuk itu. Pada akhinya disimpulkan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik untuk saat ini dengan sejumlah norma yang ada masih mampu untuk menangani terorisme siber. Saran dari tulisan ini yakni perlu ada penguatan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik untuk dapat lebih khusus menangani terorisme siber termasuk juga kalau dimungkinkan maka perlu dibentuk undang-undang khusus
Kata kunci: terorisme siber, teknologi informasi, transaksi elektronik
Isu :
Fraksi merupakan perpanjangan tangan partai politik di Dewan Perwakilan Rakyat. Kondisi ini menjadi persoalan yang mengemuka hingga saat ini karena seharusnya Dewan Perwakilan Rakyat adalah wakil rakyat dan bukan wakil partai. Partai politik saat ini mendapatkan penilaian yang buruk hal ini berimbas juga ke penilaian lembaga Dewan Perwakilan Rakyat yang berisi partai poltik. Karena fraksi wajib ada di Dewan Perwakilan Rakyat maka perlu ada analisis bagaimana sebetulnya peran fraksi selama ini di Dewan Perwakilan Rakyat. Berdasarkan analisis misalnya dalam hal legislasi fraksi memiliki peran memberikan usulan dalam penyusunan prolegna dan, menyampaikan pendpat mini pada akhir pembicaraan tingkat I pembahasan rancangan undanh-undang, Membahas fraksi memang tidak dapat dipisahkan dengan partai politik namun harus ada batasan yang tegas untuk kedepannya. Dapat dilakukan sebagai solusi yakni fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat tidak hanya disi oleh 1 partai saja namun dapat juga diisi oleh beberapa partai. Hal ini akan berdampak kepada lebih mudahnya pengambilan keputusan karena jumlah fraksi yang cenderung sedikit.
Kata kunci: fraksi, peraturan perundang-undangan, Dewan Perwakilan Rakyat
Isu :
Tugas dan fungsi pengawasan, pemantauan, dan penilaian terhadap perilaku dan kinerja jaksa dan/atau pegawai kejaksaan oleh Komisi Kejaksaan Republik Indonesia (KKRI) hakekatnya merupakan mandat peraturan perundang-undangan yang tak terpisahkan dengan tujuan dari sistem peradilan pidana terpadu yang bertumpu kepada cita hukum ideal berdasarkan asas negara hukum dan asas negara demokrasi. Meski demikian, di dalam praktik perangkat norma tentang pengawasan terhadap perilaku dan kinerja jaksa di dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2011 memuat aturan yang menimbulkan tafsir yang tidak koheren dengan cita hukum ideal dimaksud. Hal ini pada akhirnya berdampak terhadap efektivitas pelaksanaan tugas KKRI. Untuk itu, penelitian ini mengajukan sebuah konsep tentang dimensi perilaku dan kinerja sebagai suatu diskursus di dalam pengembanan tugas KKRI. Perilaku digambarkan sebagai reaksi atau respons yang timbul akibat interaksi seseorang dengan lingkungannya baik dalam konteks pelaksanaan tugas maupun di luar tugas. Perilaku memiliki tiga domain yakni kognitif, afektif, dan psikomotor yang membentuk pengetahuan, sikap dan tindakan seseorang dengan intensitas dan tingkatannya yang berbeda-beda. Adapun kinerja merupakan wujud nyata daripada perilaku dalam lingkup pelaksanaan tugas yang dibebankan atas dasar kecakapan, pengalaman, kesungguhan, dan tanggung jawab sesuai mekanisme hukum dan kode etik. Diskursus tentang dimensi perilaku dan kinerja ini disajikan dengan harapan memberi penguatan terhadap pengembanan tugas KKRI sebagai pelaksana fungsi penyeimbang atas pelaksanaan kewenangan negara oleh kejaksaan, sehingga tercipta suatu proses penegakan hukum yang menjunjung tinggi etika, kebenaran, dan hak asasi manusia. Penulisan ilmiah ini menggunakan metode penelitian normatif guna memberikan gagasan yang bersifat preskriptif atau sesuatu yang bersifat seyogianya melalui pendekatan undang-undang dan pendekatan konseptual.
Kata kunci : pengawasan, Komisi Kejaksaan, sistem peradilan pidana terpadu, perilaku, kinerja
Isu :
Kekuasaan negara haruslah diawasi untuk itu lahir lembaga-lembaga pemerintahan yang memiliki fungsi penting dalam pemerintahan. Penyelenggaraan negara dan pemerintahan sebelum reformasi ditandai dengan praktik maladministrasi termasuk korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), sehingga mutlak diperlukan reformasi birokrasi pemerintah. Dalam rangka reformasi penyelenggaraan negara dan pemerintahan di Indonesia, didirikan lembaga baru yang tidak pernah ada pada masa pemerintahan orde lama dan orde baru yang berkuasa sebelumnya. Salah satu lembaga baru adalah Ombudsman Republik Indonesia (ORI), sehingga dalam praktik ketatanegaraan Indonesia saat ini, terdapat 4 (empat) pilar kekuasaan yang berkedudukan setara, yaitu Eksekutif, Legislatif, Yudisial dan Lembaga Negara Khusus yang terdiri dari BPK, Ombudsman, Komnas HAM dan KPK. Dengan metode penelitian normatif dan pendekatan konseptual dengan menjadikan Ombudsman sebagai obyek penelitian didapat temuan bahwa BPK, Ombudsman, Komnas HAM dan KPK yang termasuk dalam lembaga negara khusus diposisikan sejajar dengan Legislatif, Eksekutif dan Yudisial. Walaupun pengaturannya hanya didasarkan pada undang-undang. Lembaga pemerintahan yang ada saat ini peran dan fungsinya masih terbatas karena keterbatasan pengaturan yang ada saat ini dalam undang-undang untuk itu perlu ada penguatan dalam tataran undang-undang agar lembaga-lembaga ini dapat lebih berperan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kata kunci: struktur ketatanegaraan, konstitusi, demokrasi, lembaga pemerintahan
Isu :
Terbitnya Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (UU tentang PLP2B) bertujuan untuk melindungi lahan-lahan pertanian khususnya lahan pangan pokok dari alih fungsi ke lahan nonpertanian. Meskipun UU tentang PLP2B telah cukup komprehensif mengatur tentang alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan berikut aturan turunannya, tetapi alih fungsi lahan masih tetap terjadi dengan laju alih fungsi lahan sebesar 96.512 hektar per tahun. Hal ini menunjukkan sinyalemen negatif terhadap pelaksanaan UU tentang PLP2B. Tujuan dalam penulisan ini yaitu untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan UU tentang PLP2B dan upaya meningkatkan peran UU tentang PLP2B untuk mengatasi alih fungsi lahan. Tulisan ini disusun dengan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi adalah insentif bagi pemerintah daerah tidak ada, insentif bagi petani tumpang tindih, dan belum ada kelembagaan dan besaran pembaiayan dalam kegiatan pengembangan ekstensifikasi. Untuk meningkatkan peran UU tentang PLP2B, maka upaya yang perlu dilakukan yaitu pertama, pemberian insentif bagi pemerintah daerah dengan dana alokasi khusus bidang pertanian. Kedua, insentif bagi petani PL2B dengan pemberian bantuan alat mesin pertanian prapanen dan pascapanen dan menjamin stabilitas harga dengan menyerap hasil hasil produksi petani. Ketiga, membentuk kelembagaan dalam kegiatan ekstensifikasi dan perhitungan besaran biaya ekstensifikasi menggunakan indeks kemahalan konstruksi.
Kata kunci: alih fungsi lahan, pertanian, insentif, ekstensifikasi.
Isu :
Terbitnya Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan PertPenegakan sanksi etik bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang berada dalam lembaga penyelenggara pemilihan umum (Pemilu) memunculkan problematika berupa persinggungan kompetensi antara rezim kepegawaian dan penyelenggaraan etika oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP). Di satu sisi, hal demikian diakibat adanya perluasan makna penyelenggara pemilu yang juga mencakup ASN dalam lembaga penyelenggara pemilu, sebagaimana ditentukan dalam beberapa putusan DKPP. Namun demikian, di lain sisi, kewenangan DKPP sebagai penyelengggara penegakan etika pemilu berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, secaa limitatif hanya untuk mengadili anggota KPU dan Bawaslu. Artikel ini mencoba untuk mendudukan pengertian penyelenggara pemilu dan kewenangan DKPP untuk mengadili dan memutus penyelenggara etik bagi ASN yang berada dalam penyelenggara pemilu. Lebih lanjut, artikel ini disusun dengan menggunakan penelitian normatif-yuridis, yang menjadikan peraturan perundang-undangan sebagai pendekatan dalam penelitian ini (statuta approach). Hasil dari penelitian menunjukan dua temuan utama yaitu: Pertama, ASN yang berada dalam lembaga penyelenggara pemilu bukan merupakan penyelenggara pemilu. Kedua, berdasarkan konsepsi penegakan etika, ASN tunduk pada rezim kepegawaian, sehingga tidak selazimnya tunduk pada penegakan kode etik yang dibentuk oleh DKPP. Dengan demikian, Peraturan DKPP yang menempatkan ASN sebagai objek dari penegakan etika harus direvisi berdasarkan konstruksi rezim hukum kepegawaian yang berlaku.
Kata Kunci: aparatur sipil negara, penegakan etika, sanksi administratifanian Pangan Berkelanjutan (UU tentang PLP2B) bertujuan untuk melindungi lahan-lahan pertanian khususnya lahan pangan pokok dari alih fungsi ke lahan nonpertanian. Meskipun UU tentang PLP2B telah cukup komprehensif mengatur tentang alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan berikut aturan turunannya, tetapi alih fungsi lahan masih tetap terjadi dengan laju alih fungsi lahan sebesar 96.512 hektar per tahun. Hal ini menunjukkan sinyalemen negatif terhadap pelaksanaan UU tentang PLP2B. Tujuan dalam penulisan ini yaitu untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan UU tentang PLP2B dan upaya meningkatkan peran UU tentang PLP2B untuk mengatasi alih fungsi lahan. Tulisan ini disusun dengan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi adalah insentif bagi pemerintah daerah tidak ada, insentif bagi petani tumpang tindih, dan belum ada kelembagaan dan besaran pembaiayan dalam kegiatan pengembangan ekstensifikasi. Untuk meningkatkan peran UU tentang PLP2B, maka upaya yang perlu dilakukan yaitu pertama, pemberian insentif bagi pemerintah daerah dengan dana alokasi khusus bidang pertanian. Kedua, insentif bagi petani PL2B dengan pemberian bantuan alat mesin pertanian prapanen dan pascapanen dan menjamin stabilitas harga dengan menyerap hasil hasil produksi petani. Ketiga, membentuk kelembagaan dalam kegiatan ekstensifikasi dan perhitungan besaran biaya ekstensifikasi menggunakan indeks kemahalan konstruksi.
Kata kunci: alih fungsi lahan, pertanian, insentif, ekstensifikasi.
Isu :
Pesawat terbang merupakan alat transportasi yang umum digunakan pada saat ini karena dianggap cepat dan aman. Adapun dasar hukum dari tingkatan undang-undang yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Selain memberikan kemudahan, ternyata transportasi udara masih memiliki kekurangan yakni terjadinya kecelakaan pesawat terbang. Permasalahan yang timbul dari kecelakaan pesawat terbang yakni terkait tanggung jawab hukum pengangkut dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Tujuan penulisan ini yakni untuk mengetahui tanggung jawab hukum pengangkut dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Metode penulisan yang digunakan adalah yuridis normatif yakni dengan pendekatan kepustakaan untuk mendalami isu mengenai hukum penerbangan ini. Hasil yang didapatkan yakni pengangkut memiliki tanggung jawab untuk memberikan ganti kerugian kepada korban/ahli waris korban. Kesimpulannya yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan memiliki dasar hukum yang mengatur tanggung jawab pengangkut dalam hal terjadi kecelakaan pesawat terbang.
Kata kunci: tanggung jawab hukum pengangkut, kecelakaan pesawat terbang, undang-undang tentang penerbangan
Isu :
Pandemi Coronavirus Disease (Covid-19) yang telah menyebar ke berbagai negara, termasuk Indonesia mengharuskan Pemerintah untuk segera mengambil sikap dalam mencegah penularan yang lebih luas di berbagai sektor, termasuk sektor pendidikan. Pemerintah mengambil kebijakan berupa pelaksanaan pembelajaran jarak jauh untuk dapat menyesuaikan dengan kondisi Covid-19 dan masih menerapkan pembelajaran jarak jauh pada tahun ajaran baru 2020/2021. Tulisan ini mengangkat permasalahan bagaimana pelaksanaan pembelajaran jarak jauh berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU tentang Sistem Pendidikan Nasional) serta bagaimana kendala implementasinya; dan bagaimana upaya pengaturan yang lebih spesifik terkait konsep penyelenggaraan pembelajaran jarak jauh agar dapat diterapkan kepada peserta didik secara optimal. Tujuan penulisan ini, yaitu untuk mengetahui pelaksanaan pembelajaran jarak jauh berdasarkan UU tentang Sistem Pendidikan Nasional serta kendala implementasinya; dan untuk mengetahui upaya pengaturan yang lebih spesifik terkait konsep pembelajaran jarak jauh agar dapat diterapkan kepada peserta didik secara optimal. Metode penulisan yang digunakan dalam pembahasan adalah metode analisis yuridis normatif, yang menggunakan bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan, buku, jurnal, dan laporan panitia kerja pembelajaran jarak jauh Komisi X DPR RI. Berdasarkan pembahasan yang dilakukan, diperoleh simpulan bahwa beberapa hal yang menjadi kendala implementasi pembelajaran jarak jauh, yaitu kurangnya kesiapan sumber daya manusia (meliputi pendidik, peserta didik, dan orang tua peserta didik), penerapan kurikulum yang belum sesuai dengan kondisi pandemi Covid-19, dan keterbatasan sarana dan prasarana pendukung pembelajaran jarak jauh. Dengan demikian perlu upaya penyempurnaan konsep pembelajaran jarak jauh agar dapat diterapkan kepada peserta didik secara optimal. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan membuat Peraturan Menteri mengenai pedoman penyelenggaraan pembelajaran jarak jauh atau dapat juga dengan memasukkan materi muatan mengenai pembelajaran jarak jauh melalui perubahan UU tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Isu :
Wabah penyakit virus korona baru di akhir tahun 2019 (COVID-19) yang kini telah menjadi pandemi merupakan fenomena virus yang bertransmisi dari inang hewan ke manusia dan dapat disebut sebagai bagian dari cross-species hop yaitu a spillovere event. Hasil penelitian terhadap COVID-19 menunjukan bahwa virus korona ini memiliki 93.3% kemiripan dengan virus korona yang tejangkit di kelelawar yang merupakan satwa liar. Transmisi virus dari inang hewan ke manusia disebut zoonosis yang dapat terjadi baik karena konsumsi satwa liar maupun hilangnya habitat satwa liar akibat tindakan manusia sehingga satwa liar terpaksa harus tinggal dekat dengan manusia. Oleh karena itu, diperlukan penelitian terkait bagaimana pengaturan mengenai konsumsi satwa liar penyebab zoonosis yang sudah berlaku saat ini serta bagaimana pengaturan yang diperlukan dalam rangka pencegahan zoonosis penyebab munculnya penyakit infeksi emerging. Penelitian ini menggunakan metode analisis yuridis normatif dengan cara studi kepustakaan atau data sekunder yang terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, serta bahan hukum tersier. Berdasarkan hasil analisa ditemukan bahwa di Indonesia, berbagai pengaturan sektoral yang spesifik mengatur tentang wabah dan zoonosis belum ada yang mengatur secara spesifik larangan konsumsi satwa liar yang dapat menjadi inang patogen zoonosis. Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu penambahan norma yang tegas melarang konsumsi satwa liar agar dengan adanya larangan konsumsi maka tidak akan ada permintaan terhadap satwa liar atau peralihan satwa liar dari habitat aslinya ke wilayah yang berdekatan dengan manusia.
Isu :
Lembaga suaka hidup dalam praktik hubungan antar bangsa dan dihormati sebagai suatu kebiasaan internasional khususnya di kawasan regional Amerika Latin. Suaka diplomatik diberikan oleh perwakilan asing kepada seseorang yang mencari perlindungan dari pemerintah negara tempat perwakilan asing tersebut berada. Pemerintah Ekuador mencabut suaka diplomatik terhadap Assange atas dasar Konvensi Havana 1928 dan Konvensi Caracas 1954 karena Assange dianggap telah mengintervensi urusan internal negara lain dan melanggar protokol kedutaan. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui apakah pencabutan tersebut dapat dibenarkan menurut Konvensi Havana 1928 dan Konvensi Caracas 1954 serta bagaimanakah pencabutan tersebut apabila dikaitkan dengan kasus-kasus internasional lainnya. Tulisan ini menggunakan metode penulisan yuridis normatif. Tindakan Ekuador yang mencabut suaka diplomatik terhadap Assange tidak dapat dibenarkan menurut Konvensi Havana 1928 dan Konvensi Caracas 1954 sebab tidak ada pengaturan dalam konvensi tersebut mengenai pencabutan suaka dan tidak ada pengaturan dalam konvensi itu bahwa pelanggaran terhadap tindakan mengintervensi urusan internal negara lain dan pelanggaran terhadap protokol kedutaan itu dapat berujung pada pencabutan suaka. Pencabutan suaka yang diikuti dengan masuknya aparat hukum Inggris ke Kedutaan Ekuador untuk menangkap Assange juga tidak dapat dibenarkan karena jelas mencederai keselamatan si pesuaka yang dilindungi dalam prinsip-prinsip suaka. Dalam praktik suaka, kasus Assange adalah kasus yang jarang terjadi dan mungkin menjadi kasus pertama yang mana negara yang tadinya melindungi ternyata berinisiatif untuk mencabut dan menyerahkan Assange untuk ditangkap oleh aparat negara peminta atau negara teritorial yang masuk ke dalam kedutaan. Ekuador seharusnya mengedepankan keselamatan Assange dan mencari jalan penyelesaian yang layak dengan menggunakan cara negosiasi ataupun jasa pihak ketiga yang netral.
Isu :
Hukum adalah instrumen atau perangkat yang bersifat progresif. Hal ini berarti hukum sebagai aturan bersifat fleksibel dan dinamis untuk mengikuti perkembangan kebutuhan hukum masyarakat. Salah satu bentuk perkembangan tersebut adalah pemanfaatan teknologi informasi. Pemanfaatan teknologi informasi dapat diterapkan pada proses penegakan hukum, salah satunya dalam penyelesaian perkara atau sengketa perdata. Perselisihan hubungan industrial sebagai bentuk sengketa perdata yang melibatkan pekerja dan pengusaha juga tidak terlepas dari pemanfaatan teknologi. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial mengatur mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yakni mekanisme bipartit dan tripartit. Dalam mekanisme tripartit, penyelesaian perselisihan hubungan industrial dilakukan melalui mediasi, konsiliasi, arbitrase, atau pengadilan hubungan industrial. Namun sayangnya, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial belum memanfaatkan teknologi informasi dalam penyelesaian perselisihan terutama dalam mengadopsi adaptasi kebiasaan baru di masyarakat. Padahal selain untuk mengadopsi adaptasi kebiasaan baru di masyarakat, pemanfaatan teknologi informasi ini tidak lain adalah untuk memecahkan sejumlah kendala selama ini dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial seperti biaya yang mahal serta keterbatasan jarak dan waktu. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui pentingnya pemanfaatan teknologi dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, konsiliasi, arbitrase, maupun pengadilan hubungan industrial agar tercipta suatu mekanisme penyelesaian yang adil, cepat, murah, dan efektif serta menjamin kepastian hukum bagi pihak yang bersengketa.
Isu :
Pada saat ini di Indonesia memiliki 3 lembaga penyelenggara pemilihan umum yakni Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilihan Umum, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum. Ketiga penyelenggara Pemilu ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Berdasarkan penyelenggaraan pemilihan umum serentak di tahun 2019 dan sebagai bentuk evaluasi kelembagaan dan efektifitas kewenangan penyelenggara pemilihan umum, maka perlu dilakukan perubahan desain penyelenggara pemilihan umum. Perubahan ini juga penting dalam rangka menyesuaikan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019. Oleh karenanya dalam tulisan ini terdapat permasalahan penulisan yakni mengenai bagaimana implikasi Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 terhadap kelembagaan penyelenggara Pemilu dan bagaimanakah desain ideal kelembagaan penyelenggara Pemilu pasca Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui implikasi Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 terhadap kelembagaan penyelenggara Pemilu dan desain ideal kelembagaan penyelenggara Pemilu pasca Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019. Metode penulisan ini menggunakan metode yuridis normatif yakni penelitian secara kepustakaan dengan mempelajari Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait. Adapun hasil pembahasan dalam tulisan ini dapat diketahui bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 dapat menjadi dasar dalam pembenahan pengaturan kepemiluan ke depan karena memberikan sejumlah alternatif keserentakan yang dapat dipilih. Dengan berpedoman pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 maka dalam tulisan ini dapat disimpulkan bahwa dibutuhkan desain ideal kelembagaan penyelenggara pemilihan umum dengan menyesuaikan kepada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 untuk menghasilkan kelembagaan yang lebih ramping struktur kaya fungsi.
Isu :
Pada Tahun 2020 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PERMA No. 1 Tahun 2020) yang didalamnya memuat aturan terkait pemidanaan. PERMA dengan materi muatan terkait pemidanaan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan). Berdasarkan permasalahan tersebut penulis akan mengkaji mengenai bagaimana pengaturan ketentuan pidana ditinjau dari perspektif pembentukan peraturan perundang-undangan dan bagaimana legalitas pengaturan pemidanaan dalam PERMA No. 1 Tahun 2020 ditinjau dari perspektif pembentukan peraturan perundang-undangan. Tulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan mengkaji bahan hukum kepustakaan atau data sekunder. Dalam Pasal 15 ayat (1) UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan diketahui bahwa ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam undang-undang dan peraturan daerah provinsi atau kabupaten/kota. Hal ini dikarenakan pemidanaan telah merampas hak asasi warga negara yang pengaturannya harus melalui persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Berdasarkan uraian tersebut, maka PERMA No. 1 Tahun 2020 mengandung materi muatan pemidanaan yang berdampak terhadap pengurangan kebebasan warga negara, sehingga perlu ditinjau keberlakuannya agar tidak bertentangan dengan UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, teori hierarki norma menurut Hans Kelsen, dan asas legalitas.
Isu :
Pengaturan tentang jabatan hakim konstitusi meliputi usia minimal calon hakim, periodisasi, masa jabatan, dan usia pensiun. Unsur-unsur pengaturan mengenai jabatan hakim konstitusi terus berubah sejak pertama kali diundangkan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi hingga perubahan terakhir dalam UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Beberapa materi terus berubah dan menjadi polemik dalam pengaturan jabatan hakim konstitusi, misalnya apakah syarat usia minimal calon hakim konstitusi yang semakin tinggi dapat menjamin kenegarawanan, perlu atau tidaknya periodisasi, masa jabatan hakim yang singkat atau panjang, dan perlu tidaknya usia pensiun hakim konstitusi disamakan dengan hakim agung. Pengaturan jabatan hakim konstitusi berpengaruh pada kemerdekaan kekuasaan kehakiman, khususnya mengenai imparsialitas dan independensi hakim. Terkait dengan permasalahan tersebut, tulisan ini mengkaji: Pertama, bagaimana pengaruh pengaturan jabatan hakim konstitusi terhadap kemerdekaan kekuasaan kehakiman? Kedua, bagaimana pengaturan ideal jabatan hakim konstitusi agar dapat menjamin kemerdekaan kekuasaan kehakiman? Tulisan ini ditujukan untuk menganalisis pengaruh pengaturan jabatan hakim konstitusi terhadap kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan pengaturan ideal jabatan hakim konstitusi agar dapat menjamin kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Metode penulisan yuridis normatifdengan spesifikasi penulisan deskriptif analitis. Hasil pembahasan menyimpulkan: Pertama, periodisasi hakim merupakan salah satu unsur pengaturan hakim konstitusi yang paling berpengaruh terhadap kemerdekaan kekuasaan kehakiman, karena hakim konstitusi yang sedang menjabat sangat bergantung pada lembaga pengusulnya, agar dapat dipilih kembali, sehingga dapat mempengaruhi imparsialitas dan independesi putusan MK. Kedua, pengaturan ideal jabatan hakim konstitusi agar dapat menjamin kemerdekaan kekuasaan kehakiman yaitu dengan menghapus ketentuan periodisasi dan menambahkan pengaturan tentang pengawasan hakim konstitusi yang lebih komprehensif, yaitu dengan menaikkan materi pengaturan Dewan Etik dari Peraturan Mahkamah Konstitusi ke tingkat undang-undang.
Isu :
Warga Negara Indonesia (WNI) dalam membuat Surat Keterangan Ahli Waris (SKW) sebagai syarat peralihan hak atas tanah karena pewarisan dibagi menjadi tiga golongan. Bagi WNI penduduk asli, SKW dibuat oleh para ahli waris dengan dikuatkan oleh kepala desa/kelurahan dan camat tempat tinggal pewaris. Bagi WNI keturunan Tionghoa, akta keterangan hak mewaris dibuat oleh Notaris; dan bagi WNI keturunan Timur Asing, SKW dibuat oleh Balai Harta Peninggalan (BHP). Permasalahan timbul pada saat ditetapkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis yang seharusnya dengan aturan tersebut pengaturan mengenai pembuatan SKW berdasarkan penggolongan penduduk sudah tidak berlaku. Berdasarkan hal tersebut, bagaimanakah sejarah pengaturan tentang kewenangan pembuatan SKW di Indonesia? dan siapakah pihak yang paling berwenang membuat surat tanda bukti sebagai ahli waris? Penulisan dengan menggunakan metode yuridis normatif ini bertujuan untuk menganalisis pihak yang paling berwenang membuat SKW. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa berdasarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri cq. Direktur Jenderal Agraria Direktorat Pendaftaran Tanah Nomor DPT/12/63/69, Menteri Dalam Negeri menugaskan lurah dan camat untuk menguatkan SKW, dan kewenangan Notaris didasarkan Pasal 14 de wet op de Grootbeoken der Nationals Schulds. Hasil penulisan menyimpulkan bahwa yang paling berwenang untuk membuat SKW adalah Notaris, hal ini didasarkan pada Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang memberikan kewenangan kepada Notaris untuk membuat akta autentik bagi perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik.
Isu :
Direksi perusahaan mempunyai tanggung jawab untuk mengurus perseroan. Salah satu tanggung jawab direksi yang bertindak mewakili dan melakukan pengurusan perseroan sehari-hari juga ikut mengurus pajak perseroan. Apabila perseroan mempunyai utang pajak dan mengalami pailit maka pelunasannya menggunakan kekayaan perseroan tetapi karena diwakilkan oleh direksi maka direksi dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara pribadi terhadap pembayaran pajak badan yang terutang. Permasalahan dalam tulisan ini adalah bagaimana tanggung jawab mantan direksi terhadap pajak terhutang perseroan pailit dan bagaimana pengaturan tanggung jawab direksi terhadap utang pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU tentang KUP). Tujuan tulisan ini adalah untuk mengetahui tanggung jawab mantan direksi terhadap pajak terhutang perseroan pailit dan dan pengaturan tanggung jawab direksi terhadap utang pajak berdasarkan UU tentang KUP. Tulisan ini disusun dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Direksi dapat diminta perbertanggungjawaban atas kerugian atau hutang perseroan pailit sampai dengan harta pribadinya namun tanggung jawab tersebut juga terbatas. Dalam UU tentang KUP yang menjadi penanggungjawab hutang perseroan pailit adalah kurator. Terkait hutang pajak dari perseroan yang telah pailit direksi dapat dimintakan pertanggungjawabannya tetapi dengan mengedepankan prinsip business judgment rule.
Isu :
Pengaturan mengenai ibadah haji dengan menggunakan visa haji mujamalah terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (UU tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah). Namun demikian dalam pelaksanaannya belum mampu menjamin hak jemaah haji sebagai konsumen jasa dari Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK), khususnya dalam aspek pembinaan, pelayanan (transportasi, akomodasi, konsumsi, dan kesehatan), dan pelindungan terhadap jemaah haji. Tulisan ini bertujuan untuk memahami masalah yang terjadi dalam pelaksanaan ibadah haji dengan menggunakan visa haji mujamalah dan pelindungan konsumennya. Dengan menggunakan metode yuridis normatif melalui studi kepustakaan, tulisan ini menyimpulkan bahwa permasalahan ibadah haji dengan visa mujamalah terjadi karena visa mujamalah sulit diketahui jumlah dan distribusinya oleh pemerintah serta belum adanya peraturan pelaksanaan yang mengatur lebih lanjut mengenai pelaksanaannya. Untuk menyelesaikan masalah tersebut, pemerintah perlu segera membentuk peraturan menteri agama untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak konsumen, melakukan pengawasan, sosialisasi dan pembinaan terhadap konsumen, serta melakukan penegakan sanksi administratif yang tegas sesuai undang-undang.
Kata kunci: ibadah haji, visa mujamalah, pelindungan konsumen
Isu :
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menggabungkan fungsi self-governing community dengan local self government membuka jalan bagi penguatan komunitas desa adat yang berdasarkan nilai-nilai lokal yang ada. Undang-Undang ini juga mengakui keberagaman desa yang ada di Indonesia dan dianggap lebih mengakui adanya kesatuan masyarakat hukum adat dengan menganut salah satu asas yaitu asas rekognisi yang merupakan pengakuan terhadap hak asal usul dan asas subsidiaritas, yaitu penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat Desa. Undang- Undang tentang Desa telah berlaku selama 6 (enam) tahun sejak diundangkan. Dalam kurun waktu tersebut belum ada desa adat yang didaftarkan atau belum terbentuk desa adat sesuai dengan ketentuan Undang- Undang tentang Desa. Banyak faktor yang mengakibatkan hal tersebut terjadi diantaranya kesulitan bagi desa adat untuk memenuhi persyaratan sebagai desa adat atau tidak adanya Peraturan Provinsi mengenai penataan desa walaupun telah adanya peraturan daerah kabupaten kota mengenai penetapan desa adat. Metode penulisan yang digunakan dalam pembahasan adalah metode analisis yuridis normatif, yang menggunakan bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan Berdasarkan pembahasan yang dilakukan, kesimpulan dari penulisan ini yaitu perlunya perubahan UU tentang Desa antara lain mengenai pengertian desa dan desa adat, pembentukan desa adat, status kelurahan menjadi desa adat, hak asal usul, dan pengelolaan hak ulayat.
Kata kunci: kelemahan pengaturan, desa adat, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
Isu :
Hak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja adalah jaminan sekaligus hak konstitusional setiap warga negara. Namun, salah satu peristiwa di bidang ketenagakerjaan yang selalu menjadi polemik di setiap akhir tahun yaitu mengenai ketetapan naiknya upah minimum. Salah satu cara pemerintah dalam membantu dunia usaha dan pekerja yaitu dengan membuat suatu sistem sehingga ada kepastian mengenai kenaikan upah setiap tahunnya. Penulisan ini mengangkat permasalahan bagaimana pengaturan upah minimum dalam UU tentang Ketenagakerjaan dan bagaimana pengaturan upah minimum ditinjau dari Pasal 28D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan upah minimum dalam UU tentang Ketenagakerjaan dan ketentuan pengaturan upah minimum ditinjau dari Pasal 28D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Metode penulisan ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan. Pangaturan mengenai upah minimum dalam UU tentang Ketenagakerjaan terdapat pada BAB X khususnya dalam bagian kedua, dari pasal 88 sampai dengan pasal 98. Pemerintah melalui UU tentang Ketenagakerjaan dan PP No.78 Tahun 2015 yang mengatur mengenai upah minimum telah memberikan dasar hukum sebagai upaya memberikan penghasilan yang layak bagi tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pengaturan upah minimun sebagai jaring pengaman sosial merupakan upaya agar setiap tenaga kerja dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak sesuai Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Hal tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa peran negara untuk melindungi pihak yang lemah, yang dalam hal ini adalah buruh melalui hukum/peraturan perundang-undangan dan pengaturan upah minimum dalam UU tentang ketenagakerjaan merupakan bentuk pengejewantahan dari Pasal 28D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Kata kunci: konstitusi, ketenagakerjaan, pesangon
Isu :
Dalam rangka mendanai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik di daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, daerah berhak mengenakan pungutan kepada masyarakat yang diatur berdasarkan Undang-Undang. Pengaturan pajak dan retribusi daerah tersebut saat ini diatur dan ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU tentang PDRD). Sepanjang berlakunya UU tentang PDRD terdapat beberapa kali permohonan pengujian UU tentang PDRD terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI Tahun 1945) kepada Mahkamah Konstitusi (MK) dan hanya 4 (empat) permohonan yang dikabulkan oleh majelis hakim. Salah satu putusan yang dikabulkan oleh MK yaitu Putusan Nomor 15/PUU-XV/2017 terkait dengan pengenaan pajak alat-alat berat dan besar. Tulisan ini disusun dengan pendekatan yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan. Putusan Nomor 15/PUU-XV/2017 berimplikasi yuridis bahwa alat berat bukan kendaraan bermotor sehingga tidak bisa dikenakan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB). Mahkamah juga menegaskan bahwa terhadap alat berat tetap dapat dikenakan pajak namun dasar hukum pengenaan pajak terhadap alat berat itu bukan karena alat berat merupakan bagian dari kendaraan bermotor. Oleh karena itu, dibutuhkan dasar hukum baru dalam peraturan perundang-undangan untuk mengenakan pajak terhadap alat berat yang antara lain dapat dilakukan dengan melakukan perubahan terhadap UU tentang PDRD.
Kata kunci: pajak daerah dan retribusi daerah, pajak kendaraan bermotor, alat berat
Isu :
Status hakim diatur dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diganti oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU tentang ASN). Adapun dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XII/2014 yang dibacakan pada tanggal 20 April 2015, Mahkamah Konstitusi (MK) menguatkan konsep bahwa hakim ad hoc bukanlah termasuk dalam pengertian hakim yang dikategorikan sebagai pejabat negara. Akan tetapi dalam pertimbangan putusan tersebut, MK berpendapat bahwa penentuan hakim ad hoc sebagai pejabat negara merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembentuk undang-undang. Akan tetapi sejak putusan MK ini dikeluarkan sampai dengan sekarang belum ada pengaturan dalam bentuk undang-undang yang dikeluarkan oleh pembentuk UU, yaitu Pemerintah dengan DPR. Berdasarkan uraian tersebut terdapat permasalahan yaitu bagaimanakah pengaturan hakim ad hoc sebagai pejabat negara sebelum keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XII/2014 dan bagaimanakah pengaturan hakim ad hoc sebagai pejabat negara pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XII/2014. Adapun tujuan penulisan ini untuk mengetahui pengaturan hakim ad hoc sebagai pejabat negara sebelum keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XII/2014 dan untuk mengetahui pengaturan hakim ad hoc sebagai pejabat negara pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XII/2014. Pembahasan tulisan ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dengan mengkaji substansi dan hukum positif yang menjelaskan permasalahan yang menghambat pengaturan jabatan hakim ad hoc sebagai pejabat negara di Indonesia. Simpulan dari permasalahan ini adalah hakim ad hoc hanya bisa menjabat sebagai pejabat negara jika pengaturannya dituang dalam bentuk undang-undang.
Kata kunci: hakim ad hoc, jabatan hakim, pejabat negara
Isu :
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial mengatur mengenai penyelesaian perselisihan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh. Melalui undang-undang tersebut diharapkan dapat mewujudkan tujuan hukum yaitu keadilan, manfaat, dan kepastian hukum. Namun dalam pelaksanaannya, proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial masih menyisakan banyak permasalahan hukum. Beberapa permasalahan hukum yang dimaksud antara lain adalah jenis perselisihan yang masih membingungkan; kurang optimalnya peran mediasi, konsiliasi, dan arbitrase; tidak tercerminnya asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan di Pengadilan Hubungan Industrial; serta putusan pengadilan yang sulit untuk dieksekusi. Berdasarkan permasalahan hukum tersebut, tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui urgensi perubahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan untuk mengetahui subtansi apa saja yang perlu diatur di dalam perubahan atas Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Metode penulisan yang digunakan oleh penulis dalam pembahasan adalah metode analisis yuridis normatif. Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan analisa yuridis secara mendalam terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Kata kunci: Urgensi,Undang-Undang, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Isu :
Pengertian asuransi adalah perjanjian pertanggungan antara perusahaan asuransi dan pemegang polis dengan tujuan mengalihkan risiko pemegang polis kepada perusahaan asuransi dan pemegang polis wajib untuk melakukan pembayaran premi kepada perusahaan asuransi. Walaupun asuransi bermanfaat mengalihkan risiko, tapi dalam kegiatan perasuransian ini juga memiliki potensi risiko yaitu gagal bayar terhadap klaim dari pemegang polis. Tujuan dalam tulisan ini adalah untuk mengetahui mekanisme ganti kerugian terhadap pemegang polis apabila perusahaan asuransi di likuidasi dan dampak hukum belum terbentuknya Lembaga Penjamin Polis. Tulisan ini menyimpulkan bahwa mekanisme ganti kerugian terhadap pemegang polis apabila perusahaan asuransi dilikuidasi adalah dalam kondisi belum adanya Lembaga Penjamin Polis maka menggunakan dana asuransi, apabila dana asuransi tidak cukup dapat menggunakan dana jaminan. Jika dana jaminan ini ternyata tidak cukup juga maka ditempuh penyelesaian dengan cara pembayaran kepada pemegang polis dalam kedudukannya sebagai kreditur preferen yang akan diutamakan. Saran dari Penulis adalah untuk segera membentuk Lembaga Penjamin Polis bersama pihak-pihak terkait serta menyusun landasan hukumnya dan menjadikan skema pembayaran dalam Lembaga Penjamin Simpanan sebagai Lembaga terdahulu yang sudah ada untuk diadopsi pada Lembaga Penjamin Polis dengan berbagai penyesuaian. Sementara itu, dampak hukum dari belum terbentuknya Lembaga Penjamin Polis berdasarkan undang-undang adalah tidak ada perlindungan hukum yang kuat kepada pemegang polis, mengganggu stabilitas perekonomian negara jika pemerintah terpaksa harus melakukan bailout, menjadi preseden buruk di industri perasuransian dan dapat mengakibatkan industri asuransi collaps, serta amanat dari Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian belum terimplementasi dengan baik. Kata kunci: perasuransian, polis, penjaminan
Isu :
Pembatasan terhadap kegiatan penanaman modal asing (PMA) merupakan salah satu bentuk pelindungan terhadap kepentingan nasional sehingga tidak semua bidang usaha terbuka untuk PMA. Bidang usaha sektor komunikasi dan informatika merupakan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan tertentu yaitu batasan kepemilikan modal asing, salah satunya jasa akses internet dengan maksimal 67% kepemilikan asing yang sebelumnya 49%. Pembatasan nilai kepemilikan modal asing meningkat seiring dengan arah kebijakan pemerintah dalam upaya peningkatan penanaman modal. Jika pembatasan modal asing terus dilonggarkan, maka hal tersebut dapat mengganggu upaya pelindungan terhadap kepentingan nasional khususnya di bidang ekonomi. Penelitian dengan menggunakan metode yuridis normatif ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU tentang Penanaman Modal) yang memberikan pelindungan terhadap kepentingan nasional dan pengaturan pembatasan kepemilikan modal asing pada bidang usaha sektor komunikasi dan informatika terhadap kepentingan nasional. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam UU tentang Penanaman Modal telah mengatur mengenai pelindungan kepentingan nasional dan saat ini pengaturan pembatasan kepemilikan asing pada bidang usaha komunikasi dan informatika didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal (Perpres No. 44 Tahun 2016) yang sudah mencerminkan pelindungan terhadap kepentingan nasional di bidang ekonomi.
Kata kunci: penanaman modal, pembatasan kepemilikan modal asing, kepentingan nasional