Isu :
1. Secara filosofis perlu ada pembentukan RUU Provinsi Jawa Barat karena
perlu ada penyesuaian dengan konsep otonomi daerah yang digunakan saat ini
yakni berlandaskan Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan
daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap provinsi,
kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan
undang-undang. (Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945)
UUD NRI Tahun 1945 menggunakan frasa “dibagi atas” bukan “terdiri atas” oleh
karenanya kekuasaan yang ada di pusat itu dibagi kepada daerah-daerah untuk
bisa mengurus wilayahnya namun dalam bentuk negara kesatuan. Hal itu
konsisten dengan kesepakatan untuk tetap mempertahankan bentuk negara
kesatuan.
Provinsi Jawa Barat dibentuk dengan Undang – Undang Nomor 11 Tahun 1950
tentang Pembentukan Propinsi Djawa Barat (UU No. 11 Tahun 1950). UU No. 11
Tahun 1950 mengatur antara lain tentang cakupan wilayah, tempat kedudukan,
jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, urusan rumah tangga daerah
dan kewajiban daerah.
Mengingat UU No. 11 Tahun 1950 dibentuk lebih dahulu maka materi muatan
yang diatur dalam UU No. 11 Tahun 1950 tentu tidak sesuai dengan materi
muatan yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Oleh karena itu, materi muatan UU No. 11 Tahun 1950 perlu diubah untuk
disesuaikan dengan materi muatan UU No. 23 Tahun 2014.
2. Adanya perubahan batas-batas wilayah Provinsi Jawa Barat karena
terjadinya pemekaran wilayah provinsi, yakni terbentuknya Provinsi DKI Jakarta
pada tahun 1961 melalui Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1961 tentang
Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Raya dan Provinsi Banten dengan
UU No. 23 Tahun 2000. Cakupan wilayah Provinsi Banten semula wilayah
Karesidenan Banten merupakan cakupan wilayah Provinsi Jawa Barat
sebelumnya.
Dengan dibentuknya Provinsi Banten tentu mempengaruhi cakupan serta batas
wilayah Provinsi Jawa Barat.
3. Terjadinya pemekaran beberapa kabupaten dan penambahan kota di
Provinsi Jawa Barat dalam kurun waktu tahun 1950 - 2012. Kabupaten atau kota
yang ada di Provinsi Jawa Barat, yakni Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang,
Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten
Cianjur, Kabupaten Bandung, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Garut,
Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Cirebon, Kabupaten
Kuningan, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Majalengka (UU Nomor 14 Tahun
1950); Kota Bandung, Kota Bogor, Kota Cirebon (UU Nomor 16 Tahun 1950);
Kota Sukabumi; (UU Nomor 17 Tahun 1950); Kabupaten Subang (UU Nomor 4
Tahun 1968); Kota Bekasi (UU Nomor 9 Tahun 1996); Kota Depok (UU Nomor 15
Tahun 1999); Kota Cimahi (UU Nomor 9 Tahun 2001); Kota Tasikmalaya (UU
Nomor 10 Tahun 2001); Kota Banjar (UU Nomor 27 Tahun 2002); Kabupaten
Bandung Barat (UU 12 Nomor 2007); dan. Kabupaten Pangandaran (UU 21
Tahun 2012).
Perubahan-perubahan tersebut membutuhkan penyesuaian dasar hukum
provinsi dalam kerangka penataan daerah.
Isu :
1. Secara filosofis perlu ada pembentukan RUU Provinsi Jawa Barat karena
perlu ada penyesuaian dengan konsep otonomi daerah yang digunakan saat ini
yakni berlandaskan Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan
daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap provinsi,
kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan
undang-undang. (Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945)
UUD NRI Tahun 1945 menggunakan frasa “dibagi atas” bukan “terdiri atas” oleh
karenanya kekuasaan yang ada di pusat itu dibagi kepada daerah-daerah untuk
bisa mengurus wilayahnya namun dalam bentuk negara kesatuan. Hal itu
konsisten dengan kesepakatan untuk tetap mempertahankan bentuk negara
kesatuan.
Provinsi Jawa Barat dibentuk dengan Undang – Undang Nomor 11 Tahun 1950
tentang Pembentukan Propinsi Djawa Barat (UU No. 11 Tahun 1950). UU No. 11
Tahun 1950 mengatur antara lain tentang cakupan wilayah, tempat kedudukan,
jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, urusan rumah tangga daerah
dan kewajiban daerah.
Mengingat UU No. 11 Tahun 1950 dibentuk lebih dahulu maka materi muatan
yang diatur dalam UU No. 11 Tahun 1950 tentu tidak sesuai dengan materi
muatan yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Oleh karena itu, materi muatan UU No. 11 Tahun 1950 perlu diubah untuk
disesuaikan dengan materi muatan UU No. 23 Tahun 2014.
2. Adanya perubahan batas-batas wilayah Provinsi Jawa Barat karena
terjadinya pemekaran wilayah provinsi, yakni terbentuknya Provinsi DKI Jakarta
pada tahun 1961 melalui Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1961 tentang
Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Raya dan Provinsi Banten dengan
UU No. 23 Tahun 2000. Cakupan wilayah Provinsi Banten semula wilayah
Karesidenan Banten merupakan cakupan wilayah Provinsi Jawa Barat
sebelumnya.
Dengan dibentuknya Provinsi Banten tentu mempengaruhi cakupan serta batas
wilayah Provinsi Jawa Barat.
3. Terjadinya pemekaran beberapa kabupaten dan penambahan kota di
Provinsi Jawa Barat dalam kurun waktu tahun 1950 - 2012. Kabupaten atau kota
yang ada di Provinsi Jawa Barat, yakni Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang,
Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten
Cianjur, Kabupaten Bandung, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Garut,
Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Cirebon, Kabupaten
Kuningan, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Majalengka (UU Nomor 14 Tahun
1950); Kota Bandung, Kota Bogor, Kota Cirebon (UU Nomor 16 Tahun 1950);
Kota Sukabumi; (UU Nomor 17 Tahun 1950); Kabupaten Subang (UU Nomor 4
Tahun 1968); Kota Bekasi (UU Nomor 9 Tahun 1996); Kota Depok (UU Nomor 15
Tahun 1999); Kota Cimahi (UU Nomor 9 Tahun 2001); Kota Tasikmalaya (UU
Nomor 10 Tahun 2001); Kota Banjar (UU Nomor 27 Tahun 2002); Kabupaten
Bandung Barat (UU 12 Nomor 2007); dan. Kabupaten Pangandaran (UU 21
Tahun 2012).
Perubahan-perubahan tersebut membutuhkan penyesuaian dasar hukum
provinsi dalam kerangka penataan daerah.
Isu :
Perkembangan teknologi digital yang pesat telah membawa
perubahan signifikan dalam cara mencipta, mendistribusikan, dan
mengakses karya cipta. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang
Hak Cipta (Undang-Undang tentang Hak Cipta), yang mengatur hak
ekonomi, hak moral, pengelolaan lisensi, royalti, serta mekanisme
penyelesaian sengketa, menjadi landasan hukum dalam melindungi hak
pencipta dan pengguna karya. Namun, tantangan di era digital, seperti
pelanggaran hak cipta secara daring yang semakin marak dan rendahnya
kesadaran masyarakat terhadap pentingnya perlindungan hak cipta,
memerlukan perhatian lebih dalam implementasinya.
Dalam konteks ini, penting untuk mengevaluasi sejauh mana
regulasi yang ada mampu memberikan perlindungan yang adil bagi
pencipta dan pengguna, serta memastikan keselarasan dengan standar
internasional dan kebutuhan hukum nasional. Evaluasi ini harus
mempertimbangkan aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis agar dapat
menjawab tantangan yang muncul di era digital serta mendukung
perkembangan ekonomi kreatif secara berkelanjutan.