Isu :
Suatu konsekuensi logis bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai
negara hukum adalah terjaminnya kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk
menjalankan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan UUD
Tahun 1945. Amandemen UUD Tahun 1945 telah membawa angin perubahan
dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia terutama dalam hal pelaksanaan
kekuasaan kehakiman. Berdasarkan perubahan tersebut konstruksi kekuasaan
kehakiman tidak lagi menjadi otoritas Mahkamah Agung (selanjutnya disebut
MA) dan badan peradilan dibawahnya, tetapi juga oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi. Disamping perubahan yang bersifat krusial tersebut, amandemen
UUD Tahun 1945 juga mengintroduksi pula suatu lembaga negara baru yang
berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang disebut Komisi
Yudisial (KY).
Pembentukan KY merupakan salah satu wujud nyata dan perlunya
keseimbangan dan kontrol diantara lembaga-lembaga negara. Pembentukan KY
merupakan penegasan terhadap prinsip negara hukum dan perlunya
perlindungan hak asasi yang telah dijamin konstitusi. Selain itu pembentukan KY
dimaksudkan sebagai sarana penyelesaian problem yang terjadi dalam praktik
ketatanegaraan yang sebelumnya tidak ditentukan. Dalam konteks dunia,
keberadaan KY merupakan salah satu hasil perkembangan pemikiran hukum
dan kenegaraan modern yang muncul pada abad ke-20.
Pengaturan mengenai KY diatur secara khusus melalui Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial (UU KY). UU KY muncul sebagai pelaksanaan amanah
konstitusi yakni Pasal 24B UUD Tahun 1945 pasca amandemen yang mengatur
mengenai Komisi Yudisial. Namun, dalam perkembangannya ada beberapa
pengaturan pasal di dalam UU KY yang dinilai bertentangan dengan semangat
Pasal 24B UUD Tahun 1945, khususnya terkait dengan independensi atau
kemerdekaan KY dalam proses rekrutmen calon hakim agung dan calon anggota
KY. Terhadap beberapa pasal tersebut akhirnya dilakukan uji materiil kepada
Mahkamah Konstitusi (MK).
Adapun beberapa pasal di dalam UU KY yang dianggap bertentangan dengan
UUD Tahun 1945 tersebut diajukan oleh para Pemohon yang merupakan para
calon hakim agung dan calon anggota KY yang merasa hak konstitusionalnya
dirugikan dalam proses rekrutmen calon hakim agung dan calon anggota KY.
Beberapa Pasal yang diuji materiil kan antara lain Pasal 18 ayat (4), Pasal 28 ayat
(6), Pasal 28 ayat (3) huruf c, dan Pasal 37 ayat (1) UU KY. Pasal 18 ayat (4) UU
KY yang merupakan pengaturan terkait proses rekrutmen calon hakim agung,
diajukan permohonan uji materiilnya pada tahun 2013 dengan nomor perkara
27/PUU-XI/2013. Sedangkan Pasal 28 ayat (6), Pasal 28 ayat (3) huruf c, dan
Pasal 37 ayat (1) UU KY yang merupakan pengaturan mengenai proses
rekrutmen calon anggota KY, diajukan permohonan uji materiilnya pada tahun
2014 dengan nomor perkara 16/PUU-XII/2014.
Dalam perkara nomor 27/PUU-XI/2013, para Pemohon mengajukan
permohonan uji materiil terhadap Pasal 18 ayat (4) UU KY yang pada intinya
mengatur ketentuan yang mengharuskan KY mengajukan 3 (tiga) nama calon
hakim agung kepada DPR untuk setiap lowongan hakim agung, yang dianggap
para Pemohon telah bertentangan dengan Pasal 24A Ayat (3) dan Pasal 28D Ayat
(1) UUD Tahun 1945. Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
bahwa materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi tindak
lanjut atas Putusan Mahkamah Konstitusi. maka perlu diadakannya perubahan
kedua dari UU tentang KY. Beberapa perihal yang perlu diperhatikan dalam
perubahan tersebut diantaranya, pertama, peranan mengangkut advokasi
hakim. Selama bulan Januari sampai dengan November tahun 2017 telah
dilaporkan 15 kali permohonan advokasi hakim. dan pada tahun 2018
dilaporkan tekanan saat bertugas oleh 11 hakim. Pada tahun 2017 dilaporkan
terjadi perusakan sarana dan prasarana Pengadilan Negeri Medan oleh kerabat
keluarga korban pembunuhan yang mengamuk setelah mendengar putusan
hakin dalam perkara praperadilan. Pada tahun 2018, tekanan saat bertugas yang
dilaporkan adalah intimidasi saat persidangan, mengganggu pelaksanaan
eksekusi, dan ancaman terhadap keamanan. Untuk mencegah hal-hal serupa,
Komisi Yudisial telah melaksanakan pemantauan sidang yang berdasarkan
permintaan dan inisiatif sendiri yang pada tahun 2017 sebanyak 168
pemantauan dan pada tahun 2018 sebanyak 278 permohonan. Namun jumlah-
jumlah tersebut masih lebih sedikit dari jumlah permohonan pemantauan yang
masuk, yaitu 327 permohonan pada tahun 2017 dan 517 permohonan pada
tahun 2018. Peran advokasi hakim dan pemantauan sidang oleh Komisi Yudisial
dalam persidangan sangat penting untuk menjaga independensi para hakim.
Namun menurut Ketua Komisi Yudisial, Jaja Ahmad Jayus, peranan Komisi
Yudisial menyangkut advokasi hakim masih mengalami kendala yang timbul
karena pemberlakuan UU No. 18 Tahun 2011. Kendala tersebut disebabkan
karena tidak disebutkannya pengaturan mengenai advokasi hakim dalam UU No.
18 Tahun 2011. Tidak dijelaskan lebih lenjut tentang pelaksanaan advokasi
hakim yang menjelaskan tindakan yang memerlukan advokasi hakim, tata cara,
dan ketentuan lainnya. Kedua, adanya kendala dalam penjatuhan sanksi
terhadap hakim. Pemberian sanksi diatur ketentuannya dalam Pasal 22D UU No.
18 Tahun 2011. Mahkamah Agung memiliki peran untuk mengeksekusi sanksi
yang telah ditentukan oleh Komisi Yudisial paling lama 60 hari sejak tanggal
usulan diterima. Namun pada pelaksanaannya, Mahkamah Agung tidak
melaksanakan sebagian usul-usul penjatuhan sanksi yang diberikan oleh Komisi
Yudisial. Dalam kurun tanggal 2 Januari sampai dengan tanggal 23 Desember
2019, Komisi Yudisial mengumumkan 130 rekomendasi sanksi hakim pada
Mahkamah Agung, namun hanya 10 usulan sanksi yang ditindaklanjuti. Ketiga,
mengenai kewenangan Komisi Yudisial untuk melakukan penyadapan dalam
tugasnya menyelidiki penyelewengan hakim. Komisi Yudisial diperbolehkan
untuk melakukan penyadapan dalam hal dugaan pelanggaran Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim, sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (3) UU No. 18
Tahun 2011. Disebutkan bahwa Komisi Yudisial dapat meminta bantuan kepada
aparat penegak hukum untuk melakukan penyadapan. Namun, permintaan
penyadapan terhambat karena adanya ketentuan dalam Pasal 31 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU tentang
ITE).
Isu :
Suatu konsekuensi logis bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai
negara hukum adalah terjaminnya kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk
menjalankan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan UUD
Tahun 1945. Amandemen UUD Tahun 1945 telah membawa angin perubahan
dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia terutama dalam hal pelaksanaan
kekuasaan kehakiman. Berdasarkan perubahan tersebut konstruksi kekuasaan
kehakiman tidak lagi menjadi otoritas Mahkamah Agung (selanjutnya disebut
MA) dan badan peradilan dibawahnya, tetapi juga oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi. Disamping perubahan yang bersifat krusial tersebut, amandemen
UUD Tahun 1945 juga mengintroduksi pula suatu lembaga negara baru yang
berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang disebut Komisi
Yudisial (KY).
Pembentukan KY merupakan salah satu wujud nyata dan perlunya
keseimbangan dan kontrol diantara lembaga-lembaga negara. Pembentukan KY
merupakan penegasan terhadap prinsip negara hukum dan perlunya
perlindungan hak asasi yang telah dijamin konstitusi. Selain itu pembentukan KY
dimaksudkan sebagai sarana penyelesaian problem yang terjadi dalam praktik
ketatanegaraan yang sebelumnya tidak ditentukan. Dalam konteks dunia,
keberadaan KY merupakan salah satu hasil perkembangan pemikiran hukum
dan kenegaraan modern yang muncul pada abad ke-20.
Pengaturan mengenai KY diatur secara khusus melalui Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial (UU KY). UU KY muncul sebagai pelaksanaan amanah
konstitusi yakni Pasal 24B UUD Tahun 1945 pasca amandemen yang mengatur
mengenai Komisi Yudisial. Namun, dalam perkembangannya ada beberapa
pengaturan pasal di dalam UU KY yang dinilai bertentangan dengan semangat
Pasal 24B UUD Tahun 1945, khususnya terkait dengan independensi atau
kemerdekaan KY dalam proses rekrutmen calon hakim agung dan calon anggota
KY. Terhadap beberapa pasal tersebut akhirnya dilakukan uji materiil kepada
Mahkamah Konstitusi (MK).
Adapun beberapa pasal di dalam UU KY yang dianggap bertentangan dengan
UUD Tahun 1945 tersebut diajukan oleh para Pemohon yang merupakan para
calon hakim agung dan calon anggota KY yang merasa hak konstitusionalnya
dirugikan dalam proses rekrutmen calon hakim agung dan calon anggota KY.
Beberapa Pasal yang diuji materiil kan antara lain Pasal 18 ayat (4), Pasal 28 ayat
(6), Pasal 28 ayat (3) huruf c, dan Pasal 37 ayat (1) UU KY. Pasal 18 ayat (4) UU
KY yang merupakan pengaturan terkait proses rekrutmen calon hakim agung,
diajukan permohonan uji materiilnya pada tahun 2013 dengan nomor perkara
27/PUU-XI/2013. Sedangkan Pasal 28 ayat (6), Pasal 28 ayat (3) huruf c, dan
Pasal 37 ayat (1) UU KY yang merupakan pengaturan mengenai proses
rekrutmen calon anggota KY, diajukan permohonan uji materiilnya pada tahun
2014 dengan nomor perkara 16/PUU-XII/2014.
Dalam perkara nomor 27/PUU-XI/2013, para Pemohon mengajukan
permohonan uji materiil terhadap Pasal 18 ayat (4) UU KY yang pada intinya
mengatur ketentuan yang mengharuskan KY mengajukan 3 (tiga) nama calon
hakim agung kepada DPR untuk setiap lowongan hakim agung, yang dianggap
para Pemohon telah bertentangan dengan Pasal 24A Ayat (3) dan Pasal 28D Ayat
(1) UUD Tahun 1945. Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
bahwa materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi tindak
lanjut atas Putusan Mahkamah Konstitusi. maka perlu diadakannya perubahan
kedua dari UU tentang KY. Beberapa perihal yang perlu diperhatikan dalam
perubahan tersebut diantaranya, pertama, peranan mengangkut advokasi
hakim. Selama bulan Januari sampai dengan November tahun 2017 telah
dilaporkan 15 kali permohonan advokasi hakim. dan pada tahun 2018
dilaporkan tekanan saat bertugas oleh 11 hakim. Pada tahun 2017 dilaporkan
terjadi perusakan sarana dan prasarana Pengadilan Negeri Medan oleh kerabat
keluarga korban pembunuhan yang mengamuk setelah mendengar putusan
hakin dalam perkara praperadilan. Pada tahun 2018, tekanan saat bertugas yang
dilaporkan adalah intimidasi saat persidangan, mengganggu pelaksanaan
eksekusi, dan ancaman terhadap keamanan. Untuk mencegah hal-hal serupa,
Komisi Yudisial telah melaksanakan pemantauan sidang yang berdasarkan
permintaan dan inisiatif sendiri yang pada tahun 2017 sebanyak 168
pemantauan dan pada tahun 2018 sebanyak 278 permohonan. Namun jumlah-
jumlah tersebut masih lebih sedikit dari jumlah permohonan pemantauan yang
masuk, yaitu 327 permohonan pada tahun 2017 dan 517 permohonan pada
tahun 2018. Peran advokasi hakim dan pemantauan sidang oleh Komisi Yudisial
dalam persidangan sangat penting untuk menjaga independensi para hakim.
Namun menurut Ketua Komisi Yudisial, Jaja Ahmad Jayus, peranan Komisi
Yudisial menyangkut advokasi hakim masih mengalami kendala yang timbul
karena pemberlakuan UU No. 18 Tahun 2011. Kendala tersebut disebabkan
karena tidak disebutkannya pengaturan mengenai advokasi hakim dalam UU No.
18 Tahun 2011. Tidak dijelaskan lebih lenjut tentang pelaksanaan advokasi
hakim yang menjelaskan tindakan yang memerlukan advokasi hakim, tata cara,
dan ketentuan lainnya. Kedua, adanya kendala dalam penjatuhan sanksi
terhadap hakim. Pemberian sanksi diatur ketentuannya dalam Pasal 22D UU No.
18 Tahun 2011. Mahkamah Agung memiliki peran untuk mengeksekusi sanksi
yang telah ditentukan oleh Komisi Yudisial paling lama 60 hari sejak tanggal
usulan diterima. Namun pada pelaksanaannya, Mahkamah Agung tidak
melaksanakan sebagian usul-usul penjatuhan sanksi yang diberikan oleh Komisi
Yudisial. Dalam kurun tanggal 2 Januari sampai dengan tanggal 23 Desember
2019, Komisi Yudisial mengumumkan 130 rekomendasi sanksi hakim pada
Mahkamah Agung, namun hanya 10 usulan sanksi yang ditindaklanjuti. Ketiga,
mengenai kewenangan Komisi Yudisial untuk melakukan penyadapan dalam
tugasnya menyelidiki penyelewengan hakim. Komisi Yudisial diperbolehkan
untuk melakukan penyadapan dalam hal dugaan pelanggaran Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim, sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (3) UU No. 18
Tahun 2011. Disebutkan bahwa Komisi Yudisial dapat meminta bantuan kepada
aparat penegak hukum untuk melakukan penyadapan. Namun, permintaan
penyadapan terhambat karena adanya ketentuan dalam Pasal 31 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU tentang
ITE).
Isu :
Amanat Pasal 22A UUD NRI Tahun 1945: pengaturan mengenai tata cara
pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang.
Tindak Lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020:
Mengatur metode omnibus; dan
Meningkatkan kualitas Partisipasi publik (meaningful participation).
Jangkauan dan Arah Pengaturan
1. Mengakomodasi Metode Omnibus dalam penyusunan Peraturan
Perundang-undangan.
2. Memperjelas partisipasi masyarakat yang lebih bermakna (meaningful
participation) dalam tahap perencanaan, penyusunan, dan pembahasan
Peraturan Perundang-undangan.
3. Perbaikan kesalahan teknis setelah persetujuan bersama antara DPR
dan Presiden dalam rapat paripurna dan sebelum pengesahan.
4. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan berbasis elektronik.
5. Perubahan sistem pendukung yaitu melibatkan pejabat fungsional lain
yang terkait pembentukan peraturan perundang-undangan.
Isu :
Dalam rangka menjamin keamanan dan pertahanan di wilayah geografis
Indonesia yang strategis sektor imigrasi mempunyai peranan yang sangat
penting. Peran penting tersebut yaitu dalam menjaga berbagai kepentingan
NKRI dalam hal ini keamanan dan kesejahteraan. Kepentingan yang
berhubungan dengan pihak asing harus didukung lembaga pemerintah beserta
instrumen hukum yang efektif dan efisien di bidang keimigrasian.
Kemudian berdasarkan perkembangan global dewasa ini mendorong
meningkatnya mobilitas penduduk dunia yang menimbulkan berbagai dampak,
baik yang menguntungkan maupun yang merugikan kepentingan dan
kehidupan bangsa dan negara Republik Indonesia, sehingga diperlukan
peraturan perundang-undangan yang menjamin kepastian hukum yang sejalan
dengan penghormatan, pelindungan, dan pemajuan hak asasi manusia maka
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian dianggap sudah
tidak memadai lagi untuk memenuhi berbagai perkembangan kebutuhan
pengaturan, pelayanan, dan pengawasan di bidang Keimigrasian sehingga perlu
dicabut dan diganti dengan undang-undang baru yang lebih komprehensif serta
mampu menjawab tantangan yang ada, yaitu diatur dalam UU tentang
Keimigrasian.
Isu :
Satu Data Indonesia merupakan bagian dari kewajiban pemerintah, baik
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk memberikan
pelayanan publik dan penyelenggaraan pemerintahan untuk melindungi
hak dan kewajiban warga negaranya.
tujuan pengaturan Satu Data Indonesia untuk memberikan acuan
pelaksanaan dan pedoman bagi Instansi Pusat dan instansi daerah dalam
rangka penyelenggaraan tata kelola data untuk mendukung perencanaan,
pelaksanaan, evaluasi, dan pengendalian pembangunan; mewujudkan
ketersediaan data yang akurat, mutakhir, terpadu, dapat
dipertanggungjawabkan, serta mudah diakses dan dibagipakaikan antar-
Instansi Pusat dan Instansi Daerah sebagai dasar perencanaan,
pelaksanaan, evaluasi, dan pengendalian pembangunan; mendorong
keterbukaan dan transparansi data sehingga tercipta perencanaan, dan
perumusan kebijakan pembangunan yang berbasis pada data; serta untuk
mendukung sistem statistik nasional sesuai peraturan perundang-
undangan.
Hal lain yang diatur dalam Undang-Undang tentang Satu Data Indonesia
adalah mengenai Standar Data yang harus dipenuhi oleh Produsen Data,
yang terdiri atas konsep, definisi, klasifikasi, ukuran, dan satuan. Standar
Data disesuaikan berdasarkan karakteristik atau ciri khusus data yang
distandarkan tersebut, namun dikecualikan bagi Data statistik dan Data
geospasial. Standar Data ditetapkan oleh pembina data tingkat pusat.
Menteri atau kepala instansi pusat menetapkan standar data untuk data
yang pemanfaatannya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan instansi
sesuai dengan tugas dan fungsinya sepanjang ditetapkan berdasarkan
standar data yang telah ditetapkan oleh Pembina Data tingkat pusat. Hal
lain yang diatur dalam Undang-Undang ini adalah mengenai pengaturan
Metadata, Interoperabilitas Data, Kode Referensi dan Data Induk, serta
keamanan Data.
Pengaturan mengenai penyelenggara Satu Data Indonesia diantaranya
adalah pemerintah bertanggung jawab atas penyelenggaraan Satu Data
Indonesia, yang dilaksanakan di tingkat pusat dan di tingkat daerah.
Penyelenggara Satu Data Indonesia tingkat pusat dilaksanakan oleh
Dewan Pengarah, Pembina Data tingkat pusat, Walidata tingkat pusat, dan
Produsen Data tingkat pusat. Sementara penyelenggara Satu Data
Indonesia tingkat daerah dilaksanakan oleh Pembina Data tingkat daerah,
Walidata tingkat daerah, Walidata pendukung, dan Produsen Data tingkat
daerah. Selain itu diatur pula mengenai forum Satu Data Indonesia,
sebagai wadah komunikasi dan koordinasi Instansi Pusat dan/atau
Instansi Daerah untuk penyelenggaraan Satu Data Indonesia. Dengan
berbagai latar belakang tersebut, maka negara perlu memberikan
dukungan terhadap perkembangan teknologi informasi di bidang
pemerintahan dan pelayanan publik serta pengintegrasian data di antara
instansi pemerintah dengan membentuk Undang-Undang tentang Satu
Data Indonesia.
Isu :
Sejak terbentuknya Provinsi Administratif Kalimantan tahun 1950, Rakyat
Dayak dalam 3 (tiga) Kabupaten: Kabupaten Barito Kabupaten Kapuas dan
Kabupaten Kotawaringin telah menyatakan keinginan untuk membentuk
Provinsi Kalimantan Tengah . Sayangnya, Pemerintah Pusat saat itu hanya
menyetujui dan mengesahkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956
yaitu tentang Pembentukan Daerah Swatantra Provinsi Kalimantan Barat
Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur yang berlaku terhitung tanggal
1 Januari 1957, sementara Kalimantan Tengah akan dibentuk menjadi
provinsi otonom selambat-lambatnya dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun.
Pada akhirnya, Provinsi Kalimantan tengah dibentuk berdasarkan Undang-
Undang Darurat Nomor 10 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah
Swatantra Propinsi Kalimantan Tengah dan Pengubahan Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Swatantra
Tingkat I Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan Dan Kalimantan Timur,
yang selanjutnya diubah dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1958
tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 10 Tahun 1957
tentang Pembentukan Daerah Swatantra Propinsi Kalimantan Tengah dan
Pengubahan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 Tentang
Pembentukan Daerah-Daerah Swatantra Tingkat I Kalimantan Barat,
Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur (UU Pembentukan Provinsi
Kalimantan Tengah).
Akan tetapi, hingga saat ini dasar hukum UU Pembentukan Provinsi
Kalimantan Tengah, masih didasarkan pada UUDS 1950 dan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah
(UU No. 1 Tahun 1957). Padahal, baik UUDS 1950 maupun UU No. 1
Tahun 1957 sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Saat ini
konstitusi yang berlaku adalah UUD NRI Tahun 1945 (hasil amandemen
keempat tahun 2002). Demikian pula dengan undang-undang yang
mengatur mengenai pemerintahan daerah, telah mengalami beberapa kali
perubahan, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah yang telah beberapa kali diubah, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Penyesuaian terhadap dasar hukum dan pengaturan mengenai Provinsi
Kalimantan Tengah, menjadi urgensi pertama dalam menyusun NA dan
RUU Kalimantan Tengah.
Urgensi kedua dari RUU tentang Provinsi Kalimantan Tengah adalah sejak
diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota
Negara, maka ibu kota negara akan berada di Provinsi Kalimantan Timur.
Sementara itu, Provinsi Kalimantan Tengah akan menjadi penyangga ibu
kota negara, dimana hal ini sesuai dengan instruksi Presiden Republik
Indonesia. Oleh karena itu, perlu ada penyesuaian guna menunjang
pelaksanaan kebijakan tersebut dalam RUU tentang Provinsi Kalimantan
Tengah, antara lain mengenai pembentukan, cakupan wilayah, batas
wilayah, dan ibu kota; urusan pemerintahan daerah, personel, aset, dan
dokumen; serta pendapatan, alokasi dana perimbangan, hibah, dan
bantuan dana.
Urgensi ketiga dari RUU tentang Provinsi Kalimantan Tengah adalah
karena adanya Surat Pimpinan Komisi II DPR RI melalui surat tertanggal 19
Januari 2022 Nomor B/1519/t.G.01.01/2022 menugaskan Badan Keahlian
Sekretariat Jenderal DPR RI untuk melakukan penyusunan Naskah
Akademik (NA) dan Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) 7 (tujuh)
Provinsi, antara lain Provinsi Kalimantan Tengah. Oleh karena itu, perlu
segera dilakukan penyesuaian terhadap materi muatan RUU Kalimantan
Tengah melalui penyusunan NA dan RUU tentang Provinsi Kalimantan
Tengah.
Isu :
Provinsi Sumatera Utara sebagai salah satu daerah otonom dibentuk
berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1948 pada tanggal 15 April
1948. Adapun pada waktu itu ditetapkan bahwa Sumatra dibagi menjadi
tiga provinsi yang masing-masing berhak mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri yaitu: Provinsi Sumatra Utara, Provinsi Sumatra
Tengah, dan Provinsi Sumatra Selatan. Tanggal 15 April 1948 selanjutnya
ditetapkan sebagai hari jadi Provinsi Sumatra Utara. secara yuridis dasar
pembentukan provinsi Sumatera Utara tersebut dapat dikatakan sudah
kadaluarsa (out of date) karena dibentuk pada masa Indonesia masih
menggunakan UUDS Tahun 1950 dan dalam bentuk negara Republik
Indonesia Serikat. Selain itu banyak materi muatan yang terdapat
didalamnya sudah tidak sesuai dengan perkembangan ketatanegaraan
terkini. Oleh karena itu sdiperlukan pembentukan undang-undang yang
secara khusus mengatur tentang provinsi Sumatera Utara dalam hal ini
membentuk RUU tentang Provinsi Sumatera Utara (RUU Provinsi Sumut),
agar dapat segera dilakukan penyesuaian sehingga pembangunan di
provinsi Sumatera Utara dapat terselenggara secara terpola, menyeluruh,
terencana, dan terintegrasi dalam satu kesatuan wilayah untuk
mewujudkan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdaulat
secara politk, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dan
berkebudayaan.
Isu :
Provinsi Sumatera Utara sebagai salah satu daerah otonom dibentuk
berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1948 pada tanggal 15 April
1948. Adapun pada waktu itu ditetapkan bahwa Sumatra dibagi menjadi
tiga provinsi yang masing-masing berhak mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri yaitu: Provinsi Sumatra Utara, Provinsi Sumatra
Tengah, dan Provinsi Sumatra Selatan. Tanggal 15 April 1948 selanjutnya
ditetapkan sebagai hari jadi Provinsi Sumatra Utara. secara yuridis dasar
pembentukan provinsi Sumatera Utara tersebut dapat dikatakan sudah
kadaluarsa (out of date) karena dibentuk pada masa Indonesia masih
menggunakan UUDS Tahun 1950 dan dalam bentuk negara Republik
Indonesia Serikat. Selain itu banyak materi muatan yang terdapat
didalamnya sudah tidak sesuai dengan perkembangan ketatanegaraan
terkini. Oleh karena itu sdiperlukan pembentukan undang-undang yang
secara khusus mengatur tentang provinsi Sumatera Utara dalam hal ini
membentuk RUU tentang Provinsi Sumatera Utara (RUU Provinsi Sumut),
agar dapat segera dilakukan penyesuaian sehingga pembangunan di
provinsi Sumatera Utara dapat terselenggara secara terpola, menyeluruh,
terencana, dan terintegrasi dalam satu kesatuan wilayah untuk
mewujudkan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdaulat
secara politk, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dan
berkebudayaan.
Isu :
Terdapat 2 (dua) judul undang-undang yang berbeda dengan nomor dan
tahun yang sama yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1950 yang
mengatur tentang Pembentukan Propinsi Djawa Timur dan Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1950 yang mengatur tentang Menetapkan
Undang-Undang Darurat Tentang Penerbitan Lembaran Negara Dan Berita
Negara R.I.S. Dan Tentang Mengeluarkan Mengumumkan Dan Mulai
Berlakunya Undang Undang Federal Dan Pengumuman Pemerintah,
sehingga terjadi kerancuan hukum terutama yang menjadi dasar
Pembentukan Propinsi Djawa Timur.
Meskipun UU No. 2 Tahun 1950 telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 1950 tentang Perubahan dalam Undang-Undang Nomor
2 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Djawa Timur (UU No. 18
Tahun 1950), hal tersebut juga tidak menyelesaikan permasalahan
mengenai kerancuan dasar hukum terkait pembentukan Provinsi Jawa
Timur. Hal tersebut dikarenakan keberadaan dokumen UU No. 18 Tahun
1950 masih dipertanyakan. UU No. 2 Tahun 1950 dan UU No. 18 Tahun
1950 selalu dijadikan dasar hukum dibentuknya Peraturan Daerah Provinsi
Jawa Timur, akan tetapi jika dilakukan penelusuran terkait dokumen
undang-undang tersebut masih sangat sulit ditemukan. Pada dokumen
asli kedua undang-undang pun tidak tercantum dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia, sehingga hal tersebut menjadi suatu permasalahan
hukum terkait dengan dasar hukum pembentukan Provinsi Jawa Timur.
Isu :
UU Nomor 10 Tahun 1950 tentang Propinsi Djawa Tengah tidak perlu
dicabut dan sebaiknya berupa perubahan karena merupakan dasar hukum
yuridis dan filosofis keberadaan Provinsi Jawa Tengah sebagai bagian dari
NKRI. Perlu dasar dan latar belakang yang kuat dalam penyusunan RUU
tentang Provinsi Jawa Tengah. Perlu pengaturan posisi secara geografis,
batas wilayah dan pembagian wilayah serta kedudukan ibukota provinsi
Jawa Tengah. Pengaturan mengenai karakteristik dari Provinsi Jawa
Tengah harus memperhatikan “mengembangkan budaya lokal dan
mendukung negara kesatuan”. Karateristiktik budaya berupa semangat
gotong royong (sinergitas) antar wilayah kabupaten/kota di Provinsi
Jateng. Provinsi Jawa Tengah harus menjadi daerah yang fokus baik dalam
pelayanan terutama dalam pengarusutamaan kelompok rentan atau teman
– teman yang minoritas terutama masyarakat miskin. belakangan ini ada
isu beberapa daerah di Provinsi Jawa Tengah yang berusaha memisahkan
diri atau meminta pemekaran karena menganggap daerahnya sudah maju
dan sejahtera. Namun disatu sisi, ada beberapa daerah yang wilayahnya
sangat luas namun masih minim distribusi sumber daya dan fasilitas
umum yang tidak merata. Dana desa saat ini kebanyakan difokuskan
untuk infrastruktur. Namun dalam konteks kebudayaan pendidikan dan
kesehatan belum menjadi perhatian.