Isu :
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) merupakan alat negara yang
menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Pada dasarnya Polri
bertujuan untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib
dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat serta terbinanya ketenteraman masyarakat
dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM). Dalam pelaksanaannya,
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia (Undang-Undang tentang Kepolisian) telah didasarkan pada
paradigma baru yang menjadikan Polri berorientasi sipil (Civilian Police),
namun faktanya Polri belum sepenuhnya mampu mewujudkan diri sebagai
alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas
melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum
secara profesional. Pelaksanaan fungsi Polri masih menghadapi banyak
hambatan dan masalah, baik dari sisi kemampuan dan kualitas sumber daya
manusia Polri, kinerja, profesionalitas, penegakan hukum yang berperspektif
hak asasi manusia, maupun aspek transparansi dan akuntabilitas
kelembagaan.
Ketentuan dalam Undang-Undang tentang Kepolisian belum secara optimal
memperbaiki kinerja Polri dalam menyesuaikan diri dengan dinamika sosial dan
kenegaraan di Indonesia. Fungsi Polri sebagai bagian integral dari fungsi
pemerintahan sudah selayaknya mengikuti variasi yang berkembang dalam
kondisi ketatanegaraan, pemerintahan, dan kemasyarakatan, khususnya juga
terhadap produk hukum yang mengatur penyelenggaraan fungsi Polri.
Isu :
Perlindungan hak untuk berkomunikasi dan memperoleh
informasi telah dijamin dalam Pasal 28F Undang-Undang Dasar
Negara Republik Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun
1945). Namun demikian hak tersebut tidak dapat digunakan
seluas-luasnya karena saat ini komunikasi dan informasi juga
dapat di gunakan sebagai bantuan dalam pelaksanaan penegakan
hukum dan kegiatan intelijen melalui penyadapan. Oleh sebab
itu, guna menjamin hak atas berkomunikasi memperoleh
informasi dibutuhkan pengaturan yang membatasi pelaksanaan
berkomunikasi dan memperoleh informasi. Pembatasan tersebut
telah diatur dalam Pasal 28J UUD NRI Tahun 1945 menentukan
bahwa pembatasan terhadap hak asasi harus diatur dalam
undang-undang untuk menjamin pengakuan serta penghormatan
atas hak dan kebebasan orang lain.
Saat ini belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur
mengenai Penyadapan. Pengaturan penyadapan sudah terdapat
dalam beberapa undang-undang, akan tetapi tidak mengatur
penyadapan secara rinci. Mekanisme melakukan Penyadapan pun
beragam, ada yang harus mendapatkan izin pengadilan dan ada
pula yang tanpa izin artinya langsung melakukan Penyadapan.
Begitu pula dengan jangka waktu Penyadapan tersebut
berbeda-beda. Hal ini menyebabkan pelaksanaan Penyadapan
kerapkali mencederai perlindungan Hak Asasi Manusia yang
dijamin dalam UUD NRI Tahun 1945.
Secara garis besar Undang-Undang ini mengatur mengenai
materi muatan berikut: ruang lingkup, persyaratan
Penyadapan, pelaksanaan Penyadapan, alat dan perangkat
Penyadapan, kewajiban penyelenggara sistem elektronik, pusat
Penyadapan nasional, komisi pengawas Penyadapan nasional,
hasil Penyadapan, pendanaan, larangan dan sanksi, dan
ketentuan pidana.
Isu :
Indonesia sampai saat ini masih belum memiliki Undang-Undang yang
mengatur secara khusus tentang siber/teknologi informasi sehingga
selama ini para pelaku tindak pidana teknologi informasi hanya bisa
dijerat dengan ketentuan-ketentuan yang ada di Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang
Telekomunikasi (UU Telekomunikasi), Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta), Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen), dan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Jo Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Respons terbaru Indonesia terhadap perkembangan keamanan teknologi
informasi adalah dengan menyelesaikan kebijakan nasional tentang
informasi dan keamanan siber dengan membentuk Badan Siber Nasional
berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2017 tentang Badan
Siber dan Sandi Negara (Perpres 53 Tahun 2017). Kehadiran Badan Siber
dan Sandi Negara (BSSN) bisa menjadi alat untuk mengawasi dan
menyaring hal-hal negatif bagi Indonesia, di antaranya konten-konten
yang memuat informasi hoax dan ancaman serangan siber. BSSN
diamanatkan akan bekerja melindungi alat-alat negara dan lembaga-
lembaga negara dan kontrol terhadap berita-berita, agar masyarakat
dapat menemukan saluran pemerintah yang kredibel dalam hal kebijakan
negara atau suatu isu yang bisa dijadikan acuan bagi masyarakat.
Ditinjau dari segi keamanan nasional, keamanan siber sangatlah penting
di sektor pemerintahan, khususnya keamanan untuk menjaga kerahasian
data-data vital. Saat ini infrastruktur yang ada belum ideal, dana masih
terbatas, dan kesadaran mengenai keamanan masih perlu ditingkatkan.
Pencurian data rahasia atau informasi sensitif yang tidak disandikan dari
pemerintah bisa menyebabkan ancaman serius bagi negara. Dari segi
perdagangan dan perekonomian, pemanfaatan teknologi informasi juga
memiliki peran yang sangat penting khususnya dalam rangka menghadapi
globalisasi sehingga perlu dilakukan langkah-langkah konkret untuk
mengarahkan pemanfaatan teknologi informasi agar benar-benar
mendukung pertumbuhan perekonomian nasional.
Isu :
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD NRI 1945) mengamanatkan bahwa Negara
Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan. Untuk melaksanakan kedaulatan
rakyat atas dasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan maka perlu
mewujudkan lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga
perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah.
Amandemen terhadap UUD NRI 1945 telah mengakibatkan banyak
perubahan pada desain sistem ketatanegaran Indonesia,
termasuk pengaturan mengenai lembaga
permusyawaratan/perwakilan tersebut. UUD NRI 1945 hasil
amandemen telah merubah kedudukan Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) yang semula merupakan lembaga tertinggi negara
menjadi lembaga negara. Adapun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
berdasarkan UUD NRI 1945 memiliki peran besar dengan tiga
fungsi utama. Fungsi tersebut adalah sebagai lembaga
pembentuk undang-undang, pelaksana pengawasan terhadap
pemerintah dan fungsi anggaran. Selain itu, amandemen UUD
NRI 1945 juga mengamanatkan kehadiran lembaga baru dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia, yaitu Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) yang diatur dalam Pasal 22C dan Pasal 22D UUD 1945.
Meskipun kedudukan MPR saat ini merupakan lembaga negara,
namun tidak dapat dikesampingkan kewenangan MPR untuk
melantik Presiden dan Wakil Presiden serta memilih dan
mengangkat Presiden dan Wakil Presiden untuk keadaan
tertentu sebagaimana dinyatakan dalam UUD NRI 1945. Hal ini
berimplikasi perlu ditegaskannya kedudukan MPR dalam Pasal 3
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Sehubungan dengan hal itu, untuk mewujudkan lembaga
permusyawaratan sebagaimana diamanatkan dalam UUD NRI 1945,
perlu menata Majelis Permusyawaratan Rakyat. Penataan
dimaksud bisa menyangkut kelembagaannya dan bisa juga
menyangkut mekanisme pelaksanaan fungsi dan kewenangannya.
Dengan demikian, MPR sebagaimana diamanatkan dalam UUD NRI
1945 akan dapat menjalankan tugas, fungsi, dan kewenangannya
secara efisien, efektif, transparan, optimal, dan aspiratif.
Adapun terkait dengan kelembagaan DPR, dalam menjalankan
tugasnya DPR mempunyai tiga fungsi sesuai dengan Pasal 20A
ayat 1 UUD NRI 1945, yaitu:
1. fungsi legislasi, yaitu DPR mempunyai wewenang untuk
membuat Undang-Undang bersama-sama dengan Presiden. Usulan
Rancangan Undang-Undang dapat diajukan oleh Presiden, dapat
pula berdasarkan hak inisiatif DPR;
2. fungsi anggaran, yaitu kewenangan DPR untuk menetapkan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang diajukan
oleh pemerintah (Presiden); dan
3. fungsi pengawasan, yaitu DPR mempunyai fungsi untuk
menjalankan pengawasan terhadap pemerintah dalam menjalankan
pemerintahan. Pengawasan DPR terhadap pemerintah dapat
berupa pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-Undang, APBN,
dan kebijakan pemerintah lainnya berdasarkan UUD NRI 1945.
Saat ini DPR dituntut untuk mampu bertransformasi menjadi
parlemen modern. Membangun DPR RI sebagai parlemen modern
pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan
publik dan legitimasi DPR. Dalam konsep parlemen modern, DPR
memang harus dapat memastikan informasi parlemen dapat
disebarkan secara proaktif serta memungkinkannya dibangun
sebuah mekanisme yang meningkatkan partisipasi publik, baik
dalam pengawasan maupun dalam peningkatan partisipasi publik
pada kerja parlemen. DPR juga harus membangun mekanisme
transparansi dan partisipasi publik yang mumpuni sehingga
dapat diakses secara mudah dan merata oleh seluruh rakyat
Indonesia. Melalui konsep parlemen modern, DPR menjadi
parlemen yang bukan lagi lembaga negara yang statis.
Parlemen berubah mengikuti perubahan yang terjadi “di dalam
dan di luar” parlemen.
Untuk membangun DPR sebagai parlemen modern maka DPR perlu
untuk terus-menerus memberikan informasi yang langsung,
akurat dan terpercaya. DPR juga perlu untuk membuka ruang
untuk partisipasi publik baik secara langsung maupun virtual
sehingga diharapkan dapat meningkatkan dukungan terhadap
kerja-kerja yang berkaitan dengan tugas dan fungsi para
anggota legislatif di lembaga DPR.
Dalam upaya untuk membangun kelembagaan DPR, saat ini DPR
masih dihadapkan dengan beberapa permasalahan di antaranya:
1. mekanisme dan tata cara pemilihan Pimpinan DPR;
2. kedudukan Mahkamah Kehormatan DPR (MKD) sebagai Alat
Kelengkapan DPR (AKD), keanggotaan MKD, dan tata cara
persidangan MKD sebagai pengadilan etik;
3. penyederhanaan fraksi-fraksi di DPR;
4. masih belum jelasnya pengaturan mengenai objek hak angket
DPR dan pemanggilan paksa non-pro justitia;
5. syarat dan pembatasan terhadap proses pemberhentian antar
waktu Anggota DPR;
6. pelaksanaan hak-hak Anggota DPR, khususnya hak imunitas
dan hak pengawasan; dan
7. pengelolaan anggaran DPR secara khusus dan akses terhadap
data APBN.
Adapun mengenai kelembagaan DPD, pembentukan DPD merupakan
upaya konstitusional yang bertujuan agar dapat lebih
mengakomodasi suara daerah dengan memberi saluran, sekaligus
peran kepada daerah-daerah. Saluran dan peran tersebut
dilakukan dengan memberikan tempat bagi daerah untuk
menempatkan wakilnya dalam badan perwakilan tingkat nasional
untuk memperjuangkan dan menyuarakan kepentingan-kepentingan
daerahnya. Dengan terbentuknya DPD, diharapkan
kepentingan-kepentingan daerah dapat terakomodasi.
Namun, dalam upaya mencapai tujuan tersebut DPD masih
menghadapi kendala-kendala yang perlu disempurnakan dalam
perubahan Undang-Undang tentang MPR, DPR, dan DPD. Kendala
tersebut di antaranya:
1. masih belum optimalnya fungsi legislasi DPD sebagaimana
amanat Pasal 22D UUD NRI 1945 dan ketentuan dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 dan Putusan Nomor
79/PUU-XII/2014;
2. pengaturan terkait tugas DPD melakukan pemantauan dan
evaluasi atas Rancangan Peraturan Daerah dan Peraturan Daerah;
3. keikutsertaan Anggota DPD yang menjadi anggota partai
politik;
4. mekanisme pemilihan dan masa jabatan Pimpinan DPD;
5. rangkap jabatan pimpinan di lembaga perwakilan; dan
6. pengaturan terkait dengan hak Anggota DPD.
Untuk mewujudkan lembaga perwakilan daerah sebagaimana
diamanatkan dalam UUD NRI 1945 maka dianggap perlu untuk
menata Dewan Perwakilan Daerah. Penataan dimaksud bisa
menyangkut kelembagaannya (misalnya alat kelengkapan) dan
bisa juga menyangkut mekanisme pelaksanaan fungsi dan
kewenangannya. Dengan demikian, DPD sebagaimana diamanatkan
dalam UUD NRI 1945 akan dapat menjalankan tugas, fungsi, dan
kewenangannya secara efisien, efektif, transparan, optimal,
dan aspiratif.
Sehubungan dengan hal tersebut, DPR RI berencana melakukan
perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(UU MD3), dengan menugaskan Badan Keahlian DPR RI untuk
menyusun konsep Naskah Akademik (NA) dan Rancangan
Undang-Undang (RUU). Kegiatan penyusunan konsep NA dan draf
RUU tersebut memerlukan data dan masukan dari berbagai
pemangku kepentingan terkait agar konsep NA dan draf RUU
yang disusun lebih komprehensif.
Oleh karena itu, tim asistensi penyusunan konsep NA dan RUU
tentang Perubahan UU MD3, sesuai tugas dari Badan Keahlian
DPR RI berencana melaksanakan pengumpulan data dan informasi
untuk menggali poin-poin substansi dalam rangka penyusunan
konsep NA dan RUU tentang Perubahan UU MD3.
Isu :
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) mempunyai peran yang penting
dalam pendaftaran tanah yaitu, membantu kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu dalam
pendaftaran tanah. Kata “dibantu” dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tidak berarti bahwa PPAT merupakan
bawahan dari Kantor Pertanahan Kabupaten /Kota yang dapat diperintah
olehnya, akan tetapi PPAT mempunyai kemandirian dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya.
Pertama, terkait masih beragamnya definisi mengenai kewenangan dalam
definisi PPAT yang tersebar dalam berbagai peraturan perundang-
undangan.
Kedua, terkait keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998
tentang Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang dinilai kurang tepat
secara hukum dikarenakan keberadaan PP ini sama sekali tidak
didasarkan atas perintah undang-undang.
Ketiga, permasalahan yang juga muncul adalah mengenai keberadaan
Pasal 15 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
(UUJN), terutama setelah adanya Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor
009-014/PUU-III/2005 tanggal 13 September 2005 tentang Pengujian
UUJN terhadap UUD 1945.
Keempat, adalah perlu atau tidaknya pengaturan mengenai wadah
tunggal bagi para PPAT.
Kelima, berkaitan dengan usia untuk dapat diangkat menjadi PPAT.
Keenam, berkaitan dengan perluasan daerah kerja PPAT menjadi satu
provinsi.
Ketujuh, substansi lainnya berkaitan dengan pemberhentian secara tidak
hormat bagi PPAT tak luput untuk dikritisi.
Oleh karena itu untuk menjamin adanya kepastian hukum dan untuk
dipenuhinya rasa keadilan, serta pula demi tercapainya tertib hukum
sesuai dengan sistem hukum yang dianut dan berlaku di Indonesia, maka
dengan pendekatan yang objektif, ilmiah dan argumentatif, perlu segera
dibentuk atau dibuat undang-undang yang mengatur tentang jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Isu :
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) mempunyai peran yang penting
dalam pendaftaran tanah yaitu, membantu kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu dalam
pendaftaran tanah. Kata “dibantu” dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tidak berarti bahwa PPAT merupakan
bawahan dari Kantor Pertanahan Kabupaten /Kota yang dapat diperintah
olehnya, akan tetapi PPAT mempunyai kemandirian dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya.
Pertama, terkait masih beragamnya definisi mengenai kewenangan dalam
definisi PPAT yang tersebar dalam berbagai peraturan perundang-
undangan.
Kedua, terkait keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998
tentang Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang dinilai kurang tepat
secara hukum dikarenakan keberadaan PP ini sama sekali tidak
didasarkan atas perintah undang-undang.
Ketiga, permasalahan yang juga muncul adalah mengenai keberadaan
Pasal 15 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
(UUJN), terutama setelah adanya Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor
009-014/PUU-III/2005 tanggal 13 September 2005 tentang Pengujian
UUJN terhadap UUD 1945.
Keempat, adalah perlu atau tidaknya pengaturan mengenai wadah
tunggal bagi para PPAT.
Kelima, berkaitan dengan usia untuk dapat diangkat menjadi PPAT.
Keenam, berkaitan dengan perluasan daerah kerja PPAT menjadi satu
provinsi.
Ketujuh, substansi lainnya berkaitan dengan pemberhentian secara tidak
hormat bagi PPAT tak luput untuk dikritisi.
Oleh karena itu untuk menjamin adanya kepastian hukum dan untuk
dipenuhinya rasa keadilan, serta pula demi tercapainya tertib hukum
sesuai dengan sistem hukum yang dianut dan berlaku di Indonesia, maka
dengan pendekatan yang objektif, ilmiah dan argumentatif, perlu segera
dibentuk atau dibuat undang-undang yang mengatur tentang jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Isu :
Berbagai makna yang terkandung baik dalam Pancasila maupun Pembukaaan
UUD NRI Tahun 1945 merupakan pijakan dasar bagi kebutuhan akan Sistem
Pengawasan Intern Pemerintah (SPIP) dalam penyelenggaraan pemerintahan
dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang baik, bersih, efektif, dan efisien.
Hal ini dimaksudkan agar upaya mewujudkan kesejahteraan umum bagi seluruh
Warga Negara Indonesia yang adil dan makmur dapat tercapai. Dalam catatan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), telah terjadi peningkatan jumlah kepala
daerah baik gubernur, bupati, maupun walikota dan pejabat eselon I/II/II yang
ditangkap oleh KPK karena melakukan tindak pidana korupsi. Masih banyaknya
kepala daerah dan pejabat eselon I/II/III yang tertangkap melakukan korupsi
telah menimbulkan pertanyaan akan peran inspektorat daerah dalam melakukan
pengawasan di daerah. Menurut kajian KPK, penyebab pengawasan inspektorat
daerah yang lemah yaitu kapasitas aparat yang rendah dan masalah
independensi aparatur inspektorat daerah. Sejalan dengan reformasi birokrasi
telah diundangkan beberapa undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014
tentang Aparatur Sipil Negara, dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan. Berdasarkan pertimbangan diatas baik dari
unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis maka dalam penguatan Aparat
Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) diperlukan suatu undang-undang yang
mengatur tentang SPIP sehingga perlu dilakukan harmonisasi dengan peraturan
perundang-undangan terkait.
Isu :
Berbagai makna yang terkandung baik dalam Pancasila maupun Pembukaaan
UUD NRI Tahun 1945 merupakan pijakan dasar bagi kebutuhan akan Sistem
Pengawasan Intern Pemerintah (SPIP) dalam penyelenggaraan pemerintahan
dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang baik, bersih, efektif, dan efisien.
Hal ini dimaksudkan agar upaya mewujudkan kesejahteraan umum bagi seluruh
Warga Negara Indonesia yang adil dan makmur dapat tercapai. Dalam catatan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), telah terjadi peningkatan jumlah kepala
daerah baik gubernur, bupati, maupun walikota dan pejabat eselon I/II/II yang
ditangkap oleh KPK karena melakukan tindak pidana korupsi. Masih banyaknya
kepala daerah dan pejabat eselon I/II/III yang tertangkap melakukan korupsi
telah menimbulkan pertanyaan akan peran inspektorat daerah dalam melakukan
pengawasan di daerah. Menurut kajian KPK, penyebab pengawasan inspektorat
daerah yang lemah yaitu kapasitas aparat yang rendah dan masalah
independensi aparatur inspektorat daerah. Sejalan dengan reformasi birokrasi
telah diundangkan beberapa undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014
tentang Aparatur Sipil Negara, dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan. Berdasarkan pertimbangan diatas baik dari
unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis maka dalam penguatan Aparat
Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) diperlukan suatu undang-undang yang
mengatur tentang SPIP sehingga perlu dilakukan harmonisasi dengan peraturan
perundang-undangan terkait.
Isu :
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri masih
menggunakan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai landasan
operasional politik luar negeri Indonesia, yakni sebagai landasan pelaksanaan
yang menegaskan dasar, sifat, dan pedoman perjuangan untuk mencapai tujuan
nasional. Perubahan politik luar negeri yang terjadi saat ini membuat Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri yang ada saat ini
tidak lagi memadai dan membutuhkan penyesuaian dengan kondisi
internasional saat ini. Trend dunia pada saat ini terkait hubungan luar negeri,
dimana Indonesia yang diharapkan sebagai pelaku dalam percaturan
internasional, evaluasi pelaksanaan era pasar tunggal Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA), isu perang dagang antar negara, isu HAM, dan berbagai
perkembangan dunia lain yang menuntut Negara ikut andil dalam menjaga dan
memelihara perdamaian dunia. Selain itu, Undang-Undang Nomor 37 Tahun
1999 tentang Hubungan Luar Negeri belum memberikan kewajiban secara jelas
kepada negara ketika warga negara Indonesia (WNI) sedang berada di luar
negeri. Belum adanya batasan perlindungan yang dilakukan Perwakilan RI di luar
negeri, serta ketidakjelasan bentuk perlindungan yang diberikan kepada WNI di
luar negeri. Mengingat adanya berbagai perkembangan, urgensi, serta
tantangan terkini, muncul pertanyaan apakah Undang-Undang Nomor 37 Tahun
1999 tentang Hubungan Luar Negeri masih dapat menjawab berbagai tuntutan
kondisi saat ini. Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan penggantian
Undang- Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.
Isu :
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999
tentang Hubungan Luar Negeri (UU tentang Hubungan Luar
Negeri), salah satu dasar pelaksanaan hubungan luar negeri
dan politik luar negeri adalah Garis-Garis Besar Haluan
Negara (GBHN). Sementara melalui amendemen Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD NRI Tahun 1945) di mana terjadi perubahan peran
MPR dan Presiden, GBHN tidak berlaku lagi. Sehingga
terjadi kekosongan hukum dalam Pasal 2 UU tentang
Hubungan Luar Negeri dalam hal keberlakuan GBHN.
Selain itu dengan berkembangnya otonomi daerah dan
pemerintah daerah mulai banyak melakukan kerjasama luar
negeri dengan pemerintah atau instansi/lembaga asing,
perlu dipertimbangkan apakah diperlukan pemberian full
powers/ surat kuasa penuh bagi pemerintah daerah dalam
melaksanakan kerjasama luar negeri tersebut, atau tetap
melalui persetujuan pusat dalam hal ini Menteri Luar
Negeri. Kewenangan pemerintah daerah saat ini dibatasi
oleh dua kementerian yaitu Kementerian Luar Negeri
melalui Peraturan Menteri Luar Negeri Nomor 3 Tahun 2019
tentang Panduan Umum Hubungan Luar Negeri oleh
Pemerintah Daerah. Selain itu diatur oleh Kementerian
Dalam Negeri melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 74 Tahun 2012 tentang Pedoman Kerjasama
Pemerintah Daerah dengan Badan Swasta Asing.
Permasalahan lain yang terdapat dalam UU tentang
Hubungan Luar Negeri yaitu mengenai pengungsi dan
pencari suaka. Dalam pelaksanaan pemberian suaka dan
masalah pengungsi perlu mengikutsertakan peran
pemerintah daerah sebagai daerah tempatan pengungsi
sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 125 Tahun 2016 tentang
Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri. Dalam RUU
perubahan/penggantian ini perlu dipertimbangkan dampak
aspek beban dan keuangan negara apabila pemberian
suaka dan masalah pengungsi ini tetap diatur dalam UU
tentang Hubungan Luar Negeri, mengingat Indonesia bukan
sebagai pihak dalam The 1951 Refugee Convention. Namun
atas dasar kemanusiaan Indonesia bersedia menjadi negara
transit. Politik hukum terhadap pemberian suaka dan
masalah pengungsi perlu ditinjau kembali.
Globalisasi yang didukung kemajuan teknologi informasi
dan komunikasi saat ini memunculkan jalur-jalur diplomasi
dalam hubungan luar negeri (multi-track diplomacy).
Semakin banyak substansi baru yang perlu dikaji dan diatur
dalam UU tentang Hubungan Luar Negeri, antara lain
seperti batasan perjanjian internasional, diplomasi ekonomi,
peran Indonesia sebagai mediator konflik, peran Indonesia
sebagai poros maritim (kelautan), peran diplomasi parlemen
(Dewan Perwakilan Rakyat), isu paspor diplomatik, peran
daerah otonomi khusus dan daerah istimewa dalam
hubungan luar negeri, dan lain sebagainya.
Berdasarkan pemaparan tersebut diatas, dapat dilihat masih
banyak kekurangan dalam UU tentang Hubungan Luar
Negeri yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan
hubungan internasional dan kebutuhan hukum masyarakat.
Oleh karena itu maka perlu dilakukan kajian yang lebih
mendalam dengan tujuan dapat menyusun rancangan
undang-undang tentang perubahan/penggantian Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar
Negeri.