Isu :
Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan serta
menciptakan keadilan dan kepastian hukum bagi seluruh
warga negara sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu dilakukan
peningkatan pengawasan pelayanan publik oleh
Ombudsman Republik Indonesia. Peningkatan pengawasan
pelayanan publik oleh Ombudsman dilakukan dengan cara
pembentukan Undang-Undang tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang
Ombudsman Republik Indonesia. Untuk meningkatkan
kualitas pengawasan pelayanan publik dan optimalisasi
pelaksanaan fungsi dan kewenangan Ombudsman, maka
sangat penting untuk melakukan penyempurnaan materi
muatan dalam UU tentang Ombudsman, meliputi:
Pengakuan Kedudukan sebagai lembaga negara yang belum
diikuti pengakuan kedudukan anggota Ombudsman sebagai
pejabat negara di dalam UU tentang Ombudsman yang
berpengaruh pada prinsip keseimbangan/kesamaan
kedudukan pada saat berkoordinasi dengan lembaga
negara yang lain; Pengaturan yang lebih komprehensif
mengenai susunan organisasi dan tata kerja Ombudsman
dari pusat hingga daerah; enambahan tugas dan fungsi
Ombudsman untuk melakukan investigasi atas prakarsa
sendiri sebagai wujud pengawasan atas pelayanan publik;
Ketaatan atas rekomendasi Ombudsman yang memerlukan
norma di dalam UU tentang Ombudsman agar instansi
pelaksana mau mematuhi rekomendasi Ombudsman; dan
Pengaturan tentang manajemen sumber daya manusia di
Ombudsman, khususnya mengenai tugas, fungsi, dan
status kepegawaian asisten Ombudsman.
Isu :
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh perlu dilakukan perubahan dikarenakan
untuk menindaklanjuti putusan MK No. 35/PUU-VIII/2010
dan Putusan MK Perkara No. 51/PUU-XIV/2016 termasuk
pengaturan terkait Pemilu dan Pilkada yang sudah berbeda
dengan UU Pemerintahan Aceh. Selain alasan diatas,
urgensi penyusunan RUU tentang Perubahan Atas UU
Pemerintahan Aceh juga dalam rangka harmonisasi UU
Pemerintahan Aceh dengan peraturan perundang-undangan
lain yang terkait serta pemenuhan kebutuhan hukum dalam
masyarakat. Namun perubahan-perubahan tersebut perlu
memperhatikan batasan penyelenggaraan keistimewaan di
Provinsi Aceh yang meliputi penyelenggaraan kehidupan
beragama, kehidupan adat, pendidikan dan peran ulama
dalam penetapan kebijakan daerah (Peraturan Daerah atau
Keputusan Gubernur yang bersifat mengatur dan mengikat
dalam penyelenggaraan keistimewaan) sebagaimana diatur
dalam Pasal 1 angka 9 dan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. UU
Pemerintahan Aceh juga perlu direvisi karena telah masuk
dalam urutan 163 dari 248 Daftar Program Legislasi
Nasional (Prolegnas) 2020-2024 yang telah disetujui dalam
Rapat Paripurna ke-6 Masa Persidangan I Tahun Sidang
2019-2020 pada tanggal 17 Desember 2019. Hal ini juga
sejalan dengan permintaan dari Badan Legislasi untuk
melakukan penyusunan Naskah Akademik dan Rancangan
Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Isu :
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”) telah
23 (dua puluh tiga) kali mengalami pengujian di Mahkamah Konstitusi oleh
beberapa pihak dengan alasan permohonan yang bervariasi. Dari 23 (dua puluh
tiga) kali pengujian tersebut, terdapat 6 (enam) permohonan yang dikabulkan
baik sebagian atau seluruhnya oleh Mahkamah Konstitusi.
Dikabulkannya pengujian uji materiil terhadap Pasal 2 ayat (1), Pasal 4 ayat (1),
Pasal 16, Pasal 31 UU Advokat dalam 6 (enam) permohonan perkara di
Mahkamah Konstitusi telah menciptakan keadaan hukum baru. Keadaan hukum
baru yang tercipta akibat putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 2 ayat
(1) bahwa kewenangan penyelenggaraan pendidikan khusus profesi advokat
adalah organisasi advokat dengan keharusan bekerjasama dengan perguruan
tinggi yang fakultas hukunya minimal terakreditasi B atau sekolah tinggi hukum
yang minimal terakreditasi B.
Selanjutnya, Pasal 4 ayat (1) UU Advokat intinya terkait dengan kewajiban bagi
Pengadilan Tinggi untuk mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum
menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi
Advokat. Kemudian, Pasal 16 terkait dengan perlindungan bahwa advokat tidak
dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas
profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam
maupun di luar sidang pengadilan. Dan terakhir terkait pengujian Pasal 31,
keadaan hukum baru yang tercipta akibat putusan Mahkamah Konstitusi
terhadap pengujian pasal a quo bahwa setiap orang atau lembaga yang
memberikan bantuan pemberian informasi dan bantuan konsultasi hukum
terhadap pihak yang membutuhkan bantuan hukum tidak dapat dipidana.
Dari beberapa putusan diatas ada beberapa putusan yang diputus secara
bersyarat, sehingga perlu dilakukan perubahan terhadap rumusan norma yang
telah diputus secara bersyarat tersebut dan juga penyesuaian beberapa undang-
undang terkait terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Hal ini guna
lebih memberikan kepastian hukum atas berlakunya norma akibat dari putusan
Mahkamah Konstitusi.
Perlu dilakukan perubahan terhadap UU Advokat yang dituangkan dalam
rencana perubahan UU Advokat baik sebagai daftar kumulatif terbuka maupun
dalam prolegnas prioritas tahunan.
Isu :
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (“UU
Mahkamah Konstitusi”) dibentuk untuk menjalankan amanat Pasal 24C ayat (6)
UUD NRI Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa pengangkatan dan
pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang
Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang. Selanjutnya undang-
undang ini kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (“UU Perubahan Mahkamah Konstitusi”).
Dalam perkembangannya, beberapa ketentuan UU Perubahan Mahkamah
Konstitusi juga telah diuji dan dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam
pelaksanaannya, terdapat permasalahan terkait dengan kelembagaan dan
hukum acara Mahkamah Konstitusi sebagai implikasi atas adanya putusan
Mahkamah Konstitusi dan kebutuhan hukum masyarakat yang mempengaruhi
norma dari UU Mahkamah Konstitusi.
Tindak lanjut terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian
undang-undang yang perlu dikaji lebih lanjut untuk mengetahui adanya dampak
terhadap Mahkamah Konstitusi, yakni:
a. Putusan MK No.066/PUU-II/2004: Pengujian pasal 50 tentang pengujian
undang-undang UU sebelum perubahan UUD 1945.
b. Putusan MK No.034/PUU-X/2012: Pasal 7A ayat (1) tentang batas usia
pensiun panitera.
c. Putusan MK No.7/PUU-XI/2013: Pasal 15 ayat (2) huruf d tentang
persyaratan batas usia hakim MK.
d. Putusan MK No.93/PUU-XV/2017: tentang pengujian undang-undang di
bawah UU yang sedang dilakukan MA bukan wajib dihentikan melainkan ditunda
apabila UU yang menjadi dasar pengujian sedang dalam proses pengujian
undang-undang di MK, sampai ada putusan MK.
e. Putusan MK No.48/PUU-IX/2011: Pengujian Pasal 45A, 57 ayat (2a), yaitu
MK diperbolehkan untuk melakukan ultra petita terhadap Putusan MK.
f. Putusan MK No.49/PUU-IX/2011: Pengujian Pasal 4 ayat (4f), ayat (4g),
ayat (4h), dan Pasal 10, Pasal 15 ayat (2) huruf h sepanjang frasa “dan/atau
pernah menjadi pejabat negara”, Pasal 26 ayat (5), Pasal 27A ayat (2) huruf c,
huruf d, huruf e ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), Pasal 50A, Pasal 59 ayat (2),
dan Pasal 87 dibatalkan. Antara lain: tata cara pemilihan Ketua dan Wakil Ketua
MK, adanya penjelasan pasal yang ada di batang tubuh, persyaratan untuk
diangkat Hakim MK, sisa jabatan hakim pengganti, penghapusan kewenangan
KY dalam mengawasi hakim MK.
g. Putusan MK No.68/PUU-XI/2011: Pengujian Pasal 15 ayat (2): sepanjang
frasa “magister” untuk prasyarat menjadi hakim MK dibatalkan.
Dengan adanya perkembangan kebutuhan hukum dan menindaklanjuti Putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut maka perlu dilakukan penyempurnaan dan
perubahan terhadap UU Mahkamah Kontitusi. Selain itu, perubahan undang-
undang akibat putusan MK merupakan RUU yang masuk dalam daftar kumulatif
terbuka, sehingga harus segera ditindaklanjuti dengan melakukan perubahan
atau penggantian.
Isu :
Dasar hukum pembentukan Provinsi Bali saat ini masih
didasarkan pada Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958
tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat I Bali, Nusa
Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (UU tentang Bali,
NTB, dan NTT). UU tentang Bali, NTB, dan NTT merupakan
undang-undang yang mendasari pembentukan Provinsi Bali.
Setelah lebih dari 60 (enam puluh) tahun berlaku, ternyata
undang-undang tersebut belum dapat menyelesaikan
sejumlah permasalahan yang dihadapi oleh Provinsi Bali.
Permasalahan tersebut antara lain pertama, permasalahan
yang berkaitan dengan lingkungan. Terjadi
ketidakseimbangan antara pembangunan pertanian dan
kepariwisataan yang ditandai dengan maraknya alih fungsi
lahan pertanian menjadi sarana dan prasarana pariwisata
serta perumahan. Akibatnya terjadi penurunan produk
pertanian dan investasi untuk sarana dan prasarana
pertanian serta kerusakan lingkungan. Selain itu,
pembangunan kepariwisataan yang begitu pesat telah
mengakibatkan terjadinya ketimpangan pembangunan
kepariwisataan antarkabupaten/kota di Bali sehingga terjadi
kesenjangan perekonomian antarkabupaten/kota di Bali.
Kedua, permasalahan yang berkaitan dengan masyarakat.
Adanya kecenderungan masyarakat Bali untuk berpikir,
bersikap, dan berperilaku pragmatis dan konsumtif,
penurunan moralitas, dan kerenggangan kohesi sosial
dalam masyarakat Bali. Selain itu, daya saing masyarakat
Bali masih rendah dalam menghadapi persaingan global.
Ketiga, permasalahan yang berkaitan dengan kebudayaan.
Terjadi kemunduran di bidang adat istiadat, tradisi, seni,
dan kearifan lokal baik dari segi jumlah dan kualitas
kelembagaan, sarana-prasarana, sumber daya manusia,
serta sistem nilai dan pranata. Hal ini disebabkan oleh
komitmen politik di bidang legislasi dan anggaran yang
kurang berpihak pada pemajuan kebudayaan Bali.
Selain itu, UU tentang Bali, NTB, dan NTT juga dibentuk
berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950
(UUDS Tahun 1950) dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah (UU
tentang Pokok Pemda Tahun 1957) padahal kedua undang-
undang tersebut sudah tidak berlaku lagi. Akan tetapi
perubahan tersebut tidak diikuti dengan perubahan
terhadap UU yang mengatur Provinsi Bali. Padahal Provinsi
Bali telah mengalami perubahan yang sangat dinamis, di
bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan
dan teknologi, khususnya teknologi komunikasi dan
informasi. Perubahan tersebut memengaruhi pola hubungan
antara pemerintah dengan warganya, hubungan
pemerintah dengan badan usaha, hubungan antarwarga,
hubungan antardaerah, serta hubungan antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah, bahkan hubungan antar
negara dan antar manusia di berbagai penjuru dunia.
Selain itu, terkait dengan konsep otonomi daerah yang ada
saat ini di Provinsi Bali berdasarkan UU tentang Bali, NTB,
dan NTT banyak hal yang sudah tidak sejalan. Sebagai
contoh, dari segi judul UU tentang Bali, NTB, dan NTT
masih menggunakan nomenklatur Daerah Tingkat I,
padahal sejak diberlakukannya UU tentang Pemda Tahun
1999 nomenklatur tersebut tidak digunakan lagi diganti
dengan istilah Provinsi.
UU tentang Bali, NTB, dan NTT menggunakan
landasan UU tentang Pokok Pemda Tahun 1957 sejatinya
saat itu pula belum ada konsep otonomi daerah, apalagi
otonomi luas yang baru dimulai sejak keberlakuan UU
tentang Pemda Tahun 1999. Secara konsep UU tentang
Bali, NTB, dan NTT jelas sudah sangat berbeda dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
saat ini.
Isu :
Provinsi Riau yang terbentuk melalui Undang-Undang Nomor 61 Tahun 1958 dengan berdasarkan pada Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 dan dalam bentuk negara Republik Indonesia Serikat. Selanjutnya otonomi daerah yang berlaku pada saat Undang-Undang Nomor 61 Tahun 1958 dibentuk masih berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Konsep otonomi daerah yang ada saat ini sudah berbeda dan banyak yang tidak sejalan dengan konsep otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Selain itu, beberapa materi muatan yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 61 Tahun 1958 sudah tidak sesuai dengan perkembangan ketatanegaraan terkini, antara lain judul undang-undang, nomenklatur penyebutan daerah tingkat I, sistem sentralistik sudah berubah menjadi desentralisasi, pola relasi dan pembagian urusan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta adanya perubahan batas wilayah akibat pemekaran Provinsi Kepulauan Riau.
Dari sisi potensi sumber daya alam, khususnya pertambangan dan perkebunan, Provinsi Riau memiliki potensi ketersediaan bahan baku Crude Palm Oil (CPO), kelapa, dan minyak mentah yang tersedia dalam jumlah yang besar. Selanjutnya terkait dana perimbangan, khususnya dana bagi hasil, salah satu hal yang menjadi permasalahan di Provinsi Riau adalah belum diperolehnya dana bagi hasil dari komoditi kelapa sawit. Padahal Provinsi Riau menjadi penyokong utama komoditi ekspor kelapa sawit secara nasional.Dari aspek kebudayaan, beberapa permasalahan yang dihadapi oleh Provinsi Riau dalam memajukan kebudayaan melayu, antara lain: Pengaruh budaya global yang dipicu oleh perkembangan teknologi informasi (TI) yang dapat menyebabkan menurunnya pengamalan adat istiadat Melayu, dan perubahan sifat dan perilaku generasi muda, Nilai-nilai luhur dalam budaya Melayu semakin tidak dikenal oleh masyarakat terutama generasi muda dan kerjasama antara pelaku seni budaya dan insan budaya dengan pemerintah belum terpadu, sehingga upaya pelestarian dan pemanfaatan seni budaya dalam diplomasi budaya, kunjungan kebudayaan dan pariwisata belum optimal;
Dengan berbagai pertimbangan tersebut dan untuk mempercepat kesejahteraan masyarakat di Provinsi Riau, mengingat potensi sumber daya yang dimiliki cukup besar maka sepatutnya dilakukan penyesuaian daerah agar pembangunan di Provinsi Riau dapat diselenggarakan secara terencana dan terarah untuk mewujudkan masyarakat yang agamis, sejahtera, dan berbudaya.
Isu :
Sulawesi Tengah resmi menjadi provinsi dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1964 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah dan Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara dengan Mengubah Undang-Undang Nomor 47 Prp Tahun 1960 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Utara-Tengah dan Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan-Tenggara menjadi Undang-Undang (Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964). Dasar hukum pembentukan provinsi Sulawesi Tengah telah sangat lama sehingga terdapat beberapa ketidaksesuaian.
Terkait otonomi daerah, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964 dibentuk masih berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Konsep otonomi daerah berdasarkan undang- undang tersebut sudah berbeda dan banyak yang tidak sejalan dengan konsep otonomi daerah yang berlaku saat ini. Selain itu, pemberlakuan otonomi seharusnya memberikan kesempatan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri daerahnya sesuai dengan nilai dan tata kelola kehidupan daerah setempat. Hal inilah yang sesungguhnya belum banyak terakomodasi dalam pengaturan Provinsi Sulawesi Tengah dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964.
Dari sisi materi muatan yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964 banyak yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan ketatanegaraan terkini, antara lain judul undang- undang, nomenklatur penyebutan daerah tingkat I, sistem sentralistik sudah berubah menjadi desentralisasi, pola relasi, pembagian urusan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta adanya perubahan batas wilayah dan perubahan daerah kabupaten/kota di Sulawesi Tengah. Selain dari sisi materi muatan, teknis pengaturan provinsi Sulawesi Tengah dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964 saat ini juga masih disatukan dengan provinsi Sulawesi Tenggara.
Sedangkan Provinsi Sulawesi Tengah memiliki potensi sumber daya alam yang besar dan beragam. Posisi Sulawesi Tengah yang strategis tepat di tengah pulau Sulawesi juga mengindikasikan pentingnya peran Sulawesi Tengah dalam pergerakan arus barang dan pengembangan ekonomi di pulau Sulawesi.
Dengan berbagai pertimbangan tersebut, agar pembangunan di Provinsi Sulawesi Tengah semakin terencana dan terarah serta kesejahteraan masyarakat di Provinsi Sulawesi Tengah semakin meningkat diperlukan langkah kongkrit berupa pembenahan tatanan hukum melalui penyusunan RUU Provinsi Sulawesi Tengah dengan substansi yang mengakomodasi kekhasan, keragaman, dan potensi daerah Sulawesi Tengah serta selaras dengan kebutuhan hukum masyarakat dan perkembangan zaman.
Isu :
Provinsi Sulawesi Tenggara sebagai salah satu daerah otonom dibentuk
berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1964
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
tahun 1964 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah Dan Daerah
Tingkat I Sulawesi Tenggara Dengan Mengubah Undang-Undang Nomor 47 Prp
Tahun 1960 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Utara-Tengah dan
Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan-Tenggara (Undang-Undang Nomor 13 Tahun
1964). DPR RI melalui alat kelengkapan Komisi 2 melakukan inisiatif melakukan
penyesuaian RUU tentang Provinsi Sulawesi Tenggara. Urgensi penyesuaian RUU
tentang Provinsi Sulawesi Tenggara terdapat dua hal, pertama, adanya legal
vacum terhadap dasar hukum pembentukan Provinsi Sulawesi Tenggara, karena
dasar pembentukan Provinsi Sulawesi Tenggara masih mendasarkan pada
peraturan perundang-undangan yang sudah diubah dan tidak berlaku lagi di
antaranya Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) sampai dengan ayat (4), Pasal 18
dan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diubah dalam
amandemen pertama dan amandemen kedua Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1957 tentang Pemerintah Daerah juga telah dicabut dan diganti dengan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2015. Kedua, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964 belum
memuat materi muatan yang mencerminkan potensi daerah di Provinsi Sulawesi
Tenggara. Untuk itu, perlu untuk meninjau kembali keberlakuan Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 1964 melalui penyesuaian RUU tentang Provinsi
Sulawesi Tenggara yang disertai dengan Naskah Akademik sebagai landasan
dalam pembentukan rancangan undang-undang.
Isu :
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-
Daerah Otonom Propinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan
Kalimantan Timur merupakan Undang-Undang yang menggantikan Undang-
Undang Darurat Nomor 2 Tahun 1953 tentang Pembentukan Daerah
Otonom Propinsi Kalimantan. Undang-Undang ini dibentuk berdasarkan Pasal
89, 131, 132 dan 142 Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) dan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 Republik Indonesia, mengingat
perkembangan ketatanegaraan serta keinginan rakyat di Kalimantan
dianggap perlu untuk membagi daerah otonom Provinsi Kalimantan
sementara dalam tiga bagian, yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan
Kalimantan Timur, masing-masing dalam batas-batas yang ditetapkan dalam
undang-undang dan masing-masing berhak mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri sebagai daerah otonom provinsi.
Seiring pembangunan/perkembangan hukum nasional, UU tentang
Pembentukan Daerah Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan
Timur sudah tidak sesuai lagi dengan perubahan ketatanegaraan setelah
Indonesia kembali ke UUD NRI Tahun 1945 sejak Dekrit Presiden 5 Juli tahun
1959, terlebih lagi pasca reformasi, karena jiwa dan semangat serta materi
muatan UU tentang Pembentukan Daerah Kalimantan Barat, Kalimantan
Selatan, dan Kalimantan Timur sudah tidak sejalan dengan amanat UUD NRI
Tahun 1945 sebagaimana beberapa kali diamandemen pada era reformasi,
terakhir pada 10 Agustus 2002. Oleh karena itu, melihat dasar hukum sudah
out of date (UUDS Tahun 1950 dan UU tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
Daerah 1957), perlu adanya pengaturan pembaharuan/penyesuaian yang
sejalan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah.
Isu :
Filosofi dibentuknya daerah otonom yaitu sebagai bentuk pengakuan dan
pemberian hak oleh negara kepada suatu kelompok masyarakat (locality)
untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri terhadap urusan tertentu. Hal
ini karena pembentukan daerah otonom tersebut merupakan pemberian hak
kepada sekelompok masyarakat untuk mengelola sendiri kehidupan
bersamanya yang dapat berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya dalam
suatu negara, maka penetapan dan pembentukan daerah otonom tersebut
memerlukan kesepakatan antar warga negara, sehingga penetapan dan
pembentukannya harus dilakukan dan disepakati oleh rakyat negara melalui
perwakilannya di parlemen, karena itulah pembentukan daerah otonom pada
umumnya ditetapkan dengan undang-undang yang dibuat oleh lembaga
perwakilan rakyat.
Di Indonesia, hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945)
yang menyatakan “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-
daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang
tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah,
yang diatur dengan undang-undang.” Selanjutnya pada saat pemerintahan
negara membentuk suatu daerah otonom, maka pada saat itu pula ditentukan
batas wilayahnya, urusan bersama (urusan pemerintahan) yang diserahkan
untuk dikelola sendiri, sumber pendapatan yang diserahkan, dan aspek
pengelolaan pemerintahan lainnya. Dengan demikian, desain pengaturan
mengenai daerah otonom seharusnya tidak terbatas pada pengaturan yang
bersifat administratif saja, melainkan juga membuka ruang bagi tiap daerah
untuk mengurus daerahnya sesuai dengan nilai yang diyakini oleh
masyarakatnya dan juga mengurus daerahnya sesuai dengan potensi daerah
untuk meningkatkan kesejahteraan daerahnya.
Sebagai sebuah daerah otonom, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)
belum diatur dengan undang-undang tersendiri sebagaimana ditegaskan
Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Dasar hukum pembentukan Provinsi
NTT saat ini masih berdasarkan Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958
tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan
Nusa Tenggara Timur (UU tentang Bali, NTB, dan NTT). Selanjutnya ditetapkan
pula Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-
daerah Tingkat II Dalam Wilayah Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara
Barat dan Nusa Tenggara Timur.
UU tentang Bali, NTB, dan NTT dibentuk pada saat negara Indonesia dalam
bentuk Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) serta berdasarkan konstitusi
Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (UUDS Tahun 1950) dan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
Daerah (UU tentang Pokok Pemda Tahun 1957). Berdasarkan Dekrit Presiden
5 Juli 1959, UUDS Tahun 1950 menjadi tidak berlaku dan berlaku kembali
UUD NRI Tahun 1945. Demikian pula UU tentang Pokok Pemda Tahun 1957
sudah tidak berlaku lagi dan telah digantikan dengan Undang-Undang Nomor
18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah,
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU
tentang Pemda Tahun 1999), Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, dan Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU tentang Pemda Tahun
2014) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015. Dengan demikian dasar hukum pembentukan
UU tentang Bali, NTB, dan NTT sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) saat ini.
UU tentang Bali, NTB, dan NTT terkait dengan konsep otonomi daerah,
mengacu pada sistem otonomi riil/nyata (Penjelasan umum UU tentang Pokok
Pemda Tahun 1957) karena saat itu pula belum mengenal konsep otonomi
daerah, apalagi otonomi luas yang baru muncul sejak berlakunya UU tentang
Pemda Tahun 1999. Saat ini Indonesia sudah dalam bentuk NKRI dengan
konstitusi UUD NRI Tahun 1945, sistem pemerintahan presidensiil serta
urusan pemerintahan daerah dan otonomi daerah mengacu pada UU tentang
Pemda Tahun 2014 sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2015. Selain itu ada pula hal yang tidak sejalan dengan
konsep otonomi daerah pada saat ini, misal dari segi judul UU tentang Bali,
NTB, dan NTT masih menggunakan nomenklatur Daerah Tingkat I, padahal
sejak diberlakukannya UU tentang Pemda Tahun 1999 nomenklatur tersebut
sudah tidak digunakan lagi dan diganti dengan istilah Provinsi. Hal ini sesuai
dengan kondisi saat ini yang telah terjadi perubahan paradigma dalam
kehidupan politik dan sistem ketatanegaraan di Indonesia yaitu dari sistem
otoritarian kepada sistem demokrasi dan dari sistem sentralisasi ke sistem
desentralisasi.
UU tentang Bali, NTB, dan NTT telah berlaku lebih dari 60 (enam puluh)
tahun. Akan tetapi, UU tentang Bali, NTB, dan NTT belum dapat
menyelesaikan sejumlah permasalahan yang dihadapi oleh Provinsi NTT. Hal
ini karena pengaturan Provinsi NTT dalam UU tentang Bali, NTB, dan NTT
hanya bersifat administratif. UU tentang Bali, NTB, dan NTT tidak memberi
kerangka hukum pembangunan Provinsi NTT secara utuh sesuai potensi
daerah dan karakteristik sehingga tidak mengakomodasi kebutuhan
perkembangan zaman dalam pembangunan Provinsi NTT.
Kondisi Provinsi NTT saat ini antara lain masih tingginya kemiskinan, tingkat
pendidikan masih kurang, tingkat perekonomian masih rendah, dan banyak
permasalahan di wilayah pesisir kepulauan dan perbatasan. Selain itu, potensi
daerah belum dimanfaatkan secara optimal padahal Provinsi NTT merupakan
wilayah kepulauan yang kaya akan sumber daya kelautan dan perikanan,
seharusnya perlu ditingkatkan pemanfaatan, pengelolaan, dan pembangunan
sumber daya kelautan terebsut demi meningkatkan perekonomian dan
kesejahteraan masyarakat Provinsi NTT. Potensi daerah yang juga perlu
diperhatikan dan dikembangkan lagi yaitu kain tenun, ada kain tenun khas
Sumba, khas Rote, khas Timor Tengah Selatan, dan khas Manggarai. Provinsi
NTT pun menjadi daya tarik wisatawan domestik maupun mancanegara
karena potensi keindahan alam, adat dan kebudayaannya. Wisata alam di
Provinsi NTT yang terkenal antara lain Pulau Komodo, Labuan Bajo, Danau
Kelimutu, Pantai Batu Biru, dan Air Terjun Oenesu. Selain wisata alam, ada
banyak adat dan kebudayaan di NTT yang menjadi kekhasan dan menarik
wisatawan seperti ritual adat, atraksi budaya, upacara adat, dll. Pembangunan
pariwisata juga harus menjadi perhatian dalam pembangunan Provinsi NTT
untuk meningkatkan pendapatan asli daerah dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut sepatutnya menuntut Provinsi NTT
untuk bergerak cepat membangun daerahnya, namun dengan tidak
meninggalkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Untuk mewujudkan
hal tersebut, pengaturan mengenai Provinsi NTT tidak boleh lagi bersifat
kaku yang hanya menekankan pada hal-hal yang bersifat administratif saja,
melainkan harus diberi ruang untuk dapat mengurus dirinya sendiri sesuai
dengan potensi daerah dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Selain berdasarkan uraian tersebut, saat ini RUU tentang Provinsi NTT
termasuk dalam Rancangan Undang-Undang Kumulatif Terbuka yang masuk
dalam Daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2020.
Berdasarkan Surat Nomor LG/075/KOM.II/VIII/2020 tertanggal 25 Agustus
2020, Komisi II DPR RI meminta Badan Keahlian DPR RI untuk menyusun
Naskah Akademik dan Draf RUU 12 (dua belas) provinsi, salah satunya yaitu
RUU tentang Provinsi NTT. Provinsi tersebut masih diatur dalam satu undang-
undang yang mengatur pembentukan beberapa provinsi dan masih
berdasarkan UUDS Tahun 1950. UU tentang Bali, NTB, dan NTT tidak hanya
mengatur Provinsi NTT saja, namun juga mencakup Provinsi Bali dan Provinsi
NTB. Masing-masing provinsi perlu diatur dalam undang-undang yang
terpisah. Pengaturan mengenai Provinsi NTT perlu diatur dalam undang-
undang tersendiri untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh
Provinsi NTT dan untuk menyesuaikan ketentuan yang terdapat dalam UU
tentang Bali, NTB, dan NTT yang berkaitan dengan Provinsi NTT dengan
peraturan perundang-undangan lainnya terutama dengan UUD NRI Tahun
1945 dan UU tentang Pemda Tahun 2014 dengan tanpa mengurangi
kekhususan Provinsi NTT. Oleh karena itu perlu disusun RUU tentang Provinsi
NTT.