Simas PUU NA

Isu :
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang hingga saat ini masih menggunakan dasar hukum Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur (UU tentang Bali, NTB, dan NTT) sebagai dasar pembentukannya. Lebih lanjut, UU tentang Bali, NTB, dan NTT yang telah berusia selama 62 (enam puluh dua) tahun tersebut juga masih berdasarkan pada Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (UUDS Tahun 1950) dan dalam bentuk Negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Demikian pula pola otonomi daerah yang berlaku pada saat UU tentang Bali, NTB, dan NTT tersebut terbentuk masih berdasarkan kepada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah (UU tentang Pokok Pemda Tahun 1957). UU tentang Pokok Pemda Tahun 1957 sudah tidak berlaku lagi dan telah digantikan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU tentang Pemda Tahun 1999), Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU tentang Pemda Tahun 2014) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015. Lebih lanjut, terkait dengan konsep otonomi daerah yang ada saat ini di Provinsi NTB berdasarkan UU tentang Bali, NTB, dan NTT banyak hal yang hal yang sudah tidak sejalan. Sebagai contoh, dari segi judul UU tentang Bali, NTB, dan NTT masih menggunakan nomenklatur Daerah Tingkat I, padahal sejak diberlakukannya UU tentang Pemda Tahun 1999 nomenklatur tersebut tidak digunakan lagi diganti dengan istilah Provinsi. Selain dikarenakan bahwa secara faktor sosiologis perkembangan zaman yang memerlukan agregasi dari sisi penyesuaian hukum dan Surat Nomor LG/060/KOM.II/VII/2020 tertanggal 7 Juli 2020, Komisi II DPR RI meminta Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI untuk menyusun Naskah Akademik dan Draf RUU 8 (delapan) provinsi, salah satunya yaitu RUU tentang Provinsi NTB.


Isu :
Pengaturan mengenai daerah Sulawesi diatur pertama kali dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Sulawesi yang membagi Sulawesi menjadi 37 daerah-daerah tingkat II. Sebagai Langkah lanjutan maka dipandang perlu selekasnya membentuk daerah-daerah otonom tingkat I Sulawesi yang disamping mengatur dan mengurus rumah-tangganya sendiri, juga bertugas pula untuk mengkoordinir dan mengawasi daerah-daerah tingkat II yang telah ada. Sehubungan dengan hal itu maka pada tanggal 13 Desember 1960 Presiden Republik Indonesia, Soekarno menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 47 Tahun 1960 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara dan Daerah Tingkat I Sulawesi Utara-Tengah yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1961. Perppu Nomor 47 Tahun 1960 ini kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 47 Prp. Tahun 1960 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara dan Daerah Tingkat I Sulawesi Utara - Tengah (Lembaran Negara tahun 1960 Nomor 151). Undang-Undang Nomor 47 Prp. Tahun 1960 mengatur wilayah yang meliputi daerah propinsi-propinsi Administratif Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara, sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden No. 5 Tahun 1960 masing-masing dibentuk sebagai daerah tingkat I yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dan yang berturut-turut dinamakan Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan-Tenggara dan Daerah Tingkat I Sulawesi Utara – Tengah. Dapat disimpulkan bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 47 Prp. Tahun 1960 tersebut, akhirnya Provinsi Sulawesi Selatan terbentuk. Selanjutnya pada tahun 1964, dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia (Perppu) Nomor 2 Tahun 1964 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah dan Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara Dengan Mengubah Undang-Undang Nomor 47 Prp Tahun 1960 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Utara Tengah dan Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara maka daerah Sulawesi dibagi menjadi empat daerah pemerintahan dengan membentuk lagi dua Daerah Tingkat I yaitu Daerah Tingkat I Selawesi Tengah dan Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara. Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan-Tenggara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 47 Prp. Tahun 1960 (Lembaran Negara Tahun 1960 No. 151) kemudian diubah menjadi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan sehingga wilayahnya meliputi 21 Daerah Tingkat II dan 2 Kotapraja yaitu Kotapraja Pare-Pare dan Kotapraja Makasar. Lebih lanjut diundangkanlah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964 yang menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 1964 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah dengan mengubah Undang-Undang Nomor 47 Prp Tahun 1960 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Utara-Tengah dan Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan-Tenggara (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 7) Menjadi Undang-Undang. UU Nomor 13 Tahun 1964 tidak hanya mengatur Provinsi Sulawesi Selatan saja, namun juga mencakup Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara-Tengah, dan Sulawesi Selatan- Tenggara. Penguatan terhadap pembentukan Provinsi Sulawesi Selatan juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang saat ini telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015, yang mengatur berbagai hal pokok tentang pemerintahan daerah termasuk di Provinsi Sulawesi Selatan. Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi sebagaimana telah di ubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2011, menyatakan bahwa Gubernur berkewajiban menyampaikan informasi kegiatan yang dilaksanakan oleh instansi vertikal yang berada pada wilayah Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Indonesia sudah menggunakan konstitusi Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) yang diamandemen terakhir pada tahun 2002, dengan bentuk negara berupa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan sistem pemerintahan presidensiil. Dengan adanya tuntutan perkembangan saat ini, perlu diadakan pembaharuan terhadap undang-undang yang menjadi dasar pembentukan Provinsi Sulawesi Selatan. Urgensi pembaruan terhadap undang-undang yang menjadi dasar pembentukan Provinsi Sulawesi Selatan juga sejalan dengan hasil keputusan rapat internal Komisi II DPR RI tanggal 24 Agustus 2020, dimana salah satu hasil keputusan tersebut menyatakan bahwa Komisi II DPR RI akan melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang Kumulatif Terbuka tentang Perubahan Undang-Undang Pembentukan Provinsi, mengingat dasar hukumnya masih menggunakan UU Republik Indonesia Serikat, dimana dalam satu undang-undang masih terdapat penggabungan provinsi, yaitu: 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1958 tentang Provinsi Kalimatan Barat, Provinsi Kalimatan Selatan, dan Provinsi Kalimatan Timur; 2. Undang-Undang Nomor 61 Tahun 1958 tentang Provinsi Jambi, Provinsi Riau, dan Provinsi Sumatera Barat; 3. Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 tentang Provinsi Bali, Provinsi NTB, dan Provinsi NTT; dan 4. Perppu Nomor 2 Tahun 1964 tentang Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi Sulawesi Tengah, dan Provinsi Sulawesi Tenggara. Pada keputusan rapat internal Komisi II DPR RI tersebut, menugaskan Badan Keahlian DPR RI untuk menyusun Naskah Akademik dan Draf RUU 12 (dua belas) provinsi tersebut, berdasarkan Surat Nomor LG/075/KOM.II/VIII/2020 tertanggal 25 Agustus 2020. Oleh karena itu, semakin kuat dasar hukum penyusunan Naskah Akademik dan draf RUU 12 (dua belas) provinsi, dimana Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satunya. Dalam rangka penyusunan RUU tentang Provinsi Sulawesi Selatan, penting kiranya untuk mendapatkan masukan pakar dalam menyusun Naskah Akademik dan RUU tentang Provinsi Sulawesi Selatan, melalui kegiatan diskusi pakar.


Isu :
Dalam peribahasa hukum het recht hinkt achter de faiten aan yang memiliki arti bahwa hukum senantiasa tertatih-tatih mengejar perubahan zaman menujukkan bahwa pada hakikatnya hukum seharusnya mengikuti perkembangan zaman yang ada dan bukan justru sebaliknya. Hal ini dikarenakan hukum terbentuk dalam moment opname yakni momentum realitas yang tertangkap saat itu (Sidin, 2020), sehingga ketika zaman berubah maka penyesuaian perlu dilakukan agar tidak terjadi tumpang tindih pengaturan baik secara vertikal dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku secara horizontal. peribahasa hukum atau adagium hukum yang berlaku secara universal itu pula yang juga dialami oleh Provinsi Jambi yang hingga saat ini masih menggunakan dasar hukum UU No. 61 Tahun 1958 tentang penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Barat, Jambi, dan Riau (UU No. 61 Tahun 1958) sebagai dasar pembentukannya. Pada tahun 1950, Pemerintah Republik Indonesia (Yogyakarta) menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950. Pemerintah telah membentuk Provinsi Sumatera Tengah, yang meliputi daerah-daerah administratif keresidenan-keresidenan Sumatera Barat, Riau, dan Jambi berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok Pemerintahan Daerah. Seiring perkembangan baru yang terjadi dalam masyarakat, sudah tidak sesuai lagi dengan daerah-daerah yang diliputinya. Rakyat dari daerah- daerah keresidenan Jambi dan Riau pada saat itu telah mengajukan tuntutan- tuntutan dalam bentuk mosi, resolusi, dan pernyataan-pernyataan lain. Tuntutan-tuntutan ini disertai beberapa alasan tentang ketidakpuasan dari rakyat, antara lain: 1. Sulit dan jauhnya perhubungan antara ibukota-ibukota Kabupaten- kabupaten dalam keresidenan Jambi dan Riau dan ibukota Provinsi; 2. Karena sulitnya hubungan daerah-daerah yang jauh letaknya dari ibukota Provinsi ini tidak mendapatkan layanan selayaknya dari Pemerintah Provinsi; 3. Berhubung dengan itu daerah-daerah yang bersangkutan ingin berhubungan langsung dengan pemerintah pusat. Setelah Pemerintah mempelajari bahan-bahan yang diajukan dan meneliti faktor-faktor politis, sosial-ekonomis, geografis, dan lain sebagainya, maka Pemerintah berpendapat bahwa apabila tiga daerah administratif Keresidenan Sumatera Barat, Jambi, dan Riau yang mana merupakan wilayah Provinsi Sumatera Tengah lama dapat dibentuk menjadi daerah tingkat I sehingga Pemerintah mengambil kesimpulan, bahwa telah dibentuk daerah tingkat I Sumatera Barat, daerah tingkat I Jambi, dan daerah tingkat I Riau. Oleh karena itu, Pemerintah berdasarkan Pasal 96 ayat (1) Undang-Undang Dasar Sementara menetapkan Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Barat, Jambi, dan Riau. Kemudian, disahkan Undang-Undang Nomor 61 Tahun 1958 tentang penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Barat, Jambi, dan Riau (UU No. 61 Tahun 1958). UU No. 61 Tahun 1958 terdiri dari 6 BAB dan 14 Pasal. Dalam ketentuan Pasal 1 UU No. 61 Tahun 1958 mengatur pembubaran daerah swatantra tingkat I Sumatera Tengah dan pembentukan tiga daerah swatantra tingkat I dengan nama dan batas-batas sebagai berikut: 1) Daerah swatantra Tingkat I Sumatera Barat, meliputi: Agam; Padang/Pariaman; Solok; Pasaman; Sawahlunto/Sijunjung; Limapuluh Kota; Pesisir Selatan/Kerinci; Tanah Datar, Bukittinggi; Padang; Sawahlunto; Padang Panjang; Solok; dan Payakumbuh. 2) Daerah Swatantra Tingkat I Jambi, meliputi: Batanghari; Merangin, dan wilayah kecamatan: Kerinci Hulu, Kerinci Tengah, Kerinci Hilir, dan Kotapraja Jambi. 3) Daerah Swatantra Tingkat I Riau, meliputi: Bengkalis; Kampar; Inderagiri; Kepulauan Riau; dan Kotapraja Pekanbaru. Pemerintah Daerah Swatantra Tingkat I Riau berkedudukan di Tanjung Pinang, Daerah Swatantra Tingkat I Jambi di Jambi, dan Daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Barat di Bukittinggi. Namun dalam perkembangan keadaan daerah menghendakinya, maka tempat kedudukan pemerintah daerah dapat dipindahkan ke lain tempat dalam wilayah daerahnya (Pasal 2 UU No. 61 Tahun 1958). Kewenangan daerah swatantra diatur dalam BAB II meliputi: urusan tata usaha daerah; hak menguasai benda-benda tambang; penangkapan ikan di pantai; izin yang menimbulkan gangguan; pembuatan sumur bor; dan hal penguburan mayat. Kemudian, dalam BAB III mengatur tentang Hal-hal yang berkaitan dengan penyerahan, kekuasaan, campur tangan dan pekerjaan- pekerjaan yang diserahkan kepada daerah. BAB IV berisi ketentuan yang mengatur keuangan daerah. Selanjutnya BAB V memuat Ketentuan Peralihan yang masih berlaku, yang dapat dicabut, ditambah, atau diubah oleh masing- masing daerah. Secara horizontal UU No. 61 Tahun 1958 sudah tidak sinkron dengan UU No. 23 tahun 2014 yang sudah mengatur pembagian kewenangan/ pelimpahan wewenang dari pusat ke daerah (desentralisasi simetris) dan hak dan kewajiban pemrintahan daerah dalam mengatur daerahnya (otonomi) yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sedangkan secara vertikal UU No. 61 Tahun 1958 tidak sesuai dengan prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah yang didasarkan pada undang-undang dasar hasil amandemen yaitu Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 yang mengatur prinsip- prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah diantaranya yaitu: 1) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 18 ayat (2)). 2) Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis (Pasal 18 ayat (4)). 3) Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat (Pasal 18 ayat (5)). 4) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturanperaturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 18 ayat (6)). 5) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah (Pasal 18A ayat (1)). 6) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang (Pasal 18A ayat (2)). Adapun kepentingan DPR sebagai pembentuk undang-undang untuk membaharui undang-undang yang menjadi dasar pembentukan Provinsi Jambi juga sejalan dengan hasil keputusan rapat internal Komisi II DPR RI tanggal 13 Januari 2020, dimana salah satu hasil keputusan tersebut menyatakan bahwa Komisi II DPR RI akan melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang Kumulatif Terbuka tentang Pembentukan Provinsi, mengingat dasar hukumnya masih menggunakan UU Republik Indonesia Serikat, dimana dalam satu undang-undang masih terdapat penggabungan provinsi, yaitu: 1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1958 tentang Provinsi Kalimatan Barat, Kalimatan Selatan, dan Kalimatan Tengah; 2) Undang-Undang Nomor 61 Tahun 1958 tentang Provinsi Sumaera Barat, Provinsi Jambi, dan Provinsi Riau; dan 3) Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 tentang Provinsi Bali, Provinsi NTB, dan Provinsi NTT. Berdasarkan penelahaan hal-hal tersebut diatas dan untuk membantu tugas konstitusional dewan dibidang legislasi, Komisi II DPR RI bermaksud mengusulkan pembentukan UU tentang Provinsi Jambi dengan menugaskan Badan Keahlian DPR RI untuk melakukan penyusunan Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang tentang Provinsi Jambi. RUU tentang Provinsi Jambi ini masuk dalam Daftar Kumulatif Terbuka Prioritas Program Legislasi Nasional Tahun 2020. Surat Nomor LG/060/KOM.II/VII/2020 tertanggal 7 Juli 2020 menjadi dasar administratif penyusunan UU provinsi Jambi.


Isu :
Berdasarkan ulasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembentukan Provinsi Kalimantan Barat masih berdasarkan Undang Undang Nomor 25 Tahun 1956. Padahal Undang Undang Nomor 25 Tahun 1956 tidak hanya mengatur Provinsi Kalimantan Barat saja, namun juga mencakup Kalimantan Timur. Selain itu, Undang Undang Nomor 25 Tahun 1956 dibentuk di saat kondisi Indonesia masih dalam kondisi darurat, menggunakan konstitusi Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (UUDS 1950), bentuk negara Indonesia masih berbentuk Republik Indonesia Serikat, dan sistem pemerintahan quasi parlementer. Padahal saat ini, Indonesia sudah menggunakan konstitusi Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) yang diamandemen terakhir pada tahun 2002, dengan bentuk negara berupa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan sistem pemerintahan presidensiil. Tentu saja dengan perbedaan mendasar baik dari segi konstitusi, bentuk negara, sistem pemerintahan, maupun tuntutan perkembangan saat ini, perlu diadakan pembaharuan terhadap undang- undang yang menjadi dasar pembentukan Provinsi Kalimantan Barat. Selain itu, dari sedikit ulasan kondisi wilayah di atas juga maka perlu suatu kebijakan yang mengelola daerah dengan segala sumber daya yang dimiliki berserta solusinya secara lebih tepat terhadap persoalannya yang dihadapi. Urgensi pembaharuan terhadap undang-undang yang menjadi dasar pembentukan Provinsi Kalimantan Barat juga sejalan dengan hasil keputusan rapat internal Komisi II DPR RI tanggal 13 Januari 2020, dimana salah satu hasil keputusan tersebut menyatakan bahwa Komisi II DPR RI akan melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang Kumulatif Terbuka tentang Pembentukan Provinsi, mengingat dasar hukumnya masih menggunakan UU masa pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS). Pada keputusan rapat internal Komisi II DPR RI tersebut, menugaskan Badan Keahlian DPR RI untuk menyusun naskah akademik dan draf RUU 8 (delapan) provinsi tersebut, berdasarkan Surat Nomor LG/060/KOM.II/VII/2020 tertanggal 7 Juli 2020. Oleh karena itu, terdapat dasar hukum bagi penyusunan Naskah Akademik (NA) dan draf RUU 8 (delapan) provinsi, dimana Provinsi Kalbar merupakan salah satunya. Dalam rangka penyusunan RUU tentang Provinsi Kalimantan Barat, maka penting untuk menyusun Naskah Akademik dan RUU tentang Provinsi Kalimantan Barat.


Isu :
Provinsi Sulawesi Utara dibentuk berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1964 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1964 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah dan Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara dengan Mengubah Undang-Undang Nomor 47 Prp Tahun 1960 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Utara-Tengah dan Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan-Tenggara (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 7) menjadi Undang-Undang (UU No. 13 Tahun 1964). UU No. 13 Tahun 1964 berlaku sejak tanggal 23 September 1964 dan diberlakukan surut sejak tanggal 1 Januari 1964. UU No. 13 Tahun 1964 sudah berlaku lebih dari 50 (lima puluh) tahun. Mengingat peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum pembentukan UU No. 13 Tahun 1964 banyak yang sudah mengalami perubahan bahkan beberapa di antaranya sudah tidak berlaku lagi maka UU No. 13 Tahun 1964 perlu diubah untuk disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya tersebut. Selanjutnya, UU No. 13 Tahun 1964 terdiri atas 3 (tiga) bab dan 13 (tiga belas) pasal. UU No. 13 Tahun 1964 pada pokoknya mengatur mengenai pembentukan daerah, cakupan wilayah, kepala daerah dan wakil kepala daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong, dan penyerahan aset daerah. Selain diatur dalam UU No. 13 Tahun 1964, kepala daerah dan wakil kepala daerah serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang- Undang sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2020 (UU Nomor 1 Tahun 2015) danUndang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 (UU No. 23 Tahun 2014). Mengingat UU No. 13 Tahun 1964 dibentuk lebih dahulu maka materi muatan yang diatur dalam UU No. 13 Tahun 1964 tentu tidak sesuai dengan materi muatan yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 2015 dan UU No. 23 Tahun 2014. Oleh karena itu, materi muatan UU No. 13 Tahun 1964 perlu diubah untuk disesuaikan dengan materi muatan UU No. 1 Tahun 2015 dan UU No. 23 Tahun 2014. Selain itu, UU No. 13 Tahun 1964 dibentuk sebelum adanya Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU No. 12 Tahun 2011). Oleh karena itu, teknik penyusunan UU No. 13 Tahun 1964 perlu diubah untuk disesuaikan dengan teknik penyusunan undang-undang sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011. Untuk menyelesaikan permasalahan hukum tersebut maka Komisi II DPR RI berinisiatif untuk membentuk undang-undang yang akan mengubah UU No. 13 Tahun 1964. Salah satu hasil keputusan Rapat Pimpinan Komisi II DPR RI tanggal 24 Agustus 2020 adalah bahwa Komisi II DPR RI akan melakukan pembahasan rancangan undang-undang kumulatif terbuka tentang perubahan undang-undang pembentukan provinsi. Salah satu undang-undang pembentukan provinsi yang akan diubah adalah UU No. 13 Tahun 1964. Hal ini mengingat UU No. 13 Tahun 1964 masih mengatur mengenai 4 (empat) provinsi yakni, Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi Sulawesi Tengah, Provinsi Sulawesi Tenggara, dan Provinsi Sulawesi Selatan dalam satu undang-undang. Berdasarkan Surat Nomor LG/075/KOM.IIVIII/2020 tanggal 25 Agustus 2020, Komisi II DPR RI meminta Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI untuk menyusun Naskah Akademik dan Draft RUU Provinsi Sulawesi Utara.


Isu :
Pembentukan daerah otonom pada dasarnya merupakan bentuk pengakuan dan pemberian hak oleh negara kepada suatu kelompok masyarakat (locality) untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakatnya sesuai dengan aspirasi masyarakat yang bersangkutan. Untuk mewujudkan hal tersebut, dibentuklah pemerintahan daerah yang menurut Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 diatur dengan undang-undang. Kondisi riil pengaturan Provinsi Sumatera Barat sebagai sebuah daerah otonom, masih menggunakan Undang-Undang Nomor 61 Tahun 1958 tentang Penetapan "Undang-Undang Darurat No. 19 Tahun 1957 Tentang Pembentukan Daerah-Daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Barat, Jambi dan Riau" (Lembaran-Negara Tahun 1957 No. 75). Pembentukan undang-undang ini, masih didasarkan pada Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (UUDS Tahun 1950) dan dalam bentuk Negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Demikian pula dengan pola otonomi daerahnya yang masih berdasarkan kepada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah (UU tentang Pokok Pemda Tahun 1957). UU tentang Pokok Pemda Tahun 1957 sudah tidak berlaku lagi dan telah beberapa kali diganti, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang juga sudah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015. Perubahan peraturan tersebut menyebabkan pengaturan mengenai Provinsi Sumatera Barat tidak lagi sejalan dengan pengaturan mengenai pemerintahan daerah karena telah terjadi perubahan paradigma pelaksanaan otonomi daerah, salah satunya adalah dengan dikenalnya prinsip otonomi seluas-luasnya. Prinsip otonomi seluas-luasnya, memberikan kesempatan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri daerahnya sesuai dengan kearifan, inovasi, daya saing, kreatifitas daerah, nilai dan tata kelola kehidupan bersama yang diyakini oleh masyarakat di daerahnya. Hal ini memungkinkan pengaturan antara daerah otonom yang satu, berbeda dengan daerah otonom lainnya. Melalui hal tersebut, diharapkan usaha untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dapat tercapai lebih cepat. Berdasarkan hal itulah, diperlukan penyesuaian pengaturan mengenai Provinsi Sumatera Barat. Penyusunan Naskah Akademik dan Draf Rancangan Undang-Undang tentang Provinsi Sumatera Barat dilakukan sesuai dengan penugasan dari Komisi II DPR RI melalui Surat Nomor LG/060/KOM.II/VII/2020 tertanggal 7 Juli 2020 dan Surat Nomor LG/075/KOM.II/VIII/2020 tanggal 25 Agustus 2020, yang menugaskan Badan Keahlian DPR RI untuk menyusun Naskah Akademik dan Draf RUU 12 (dua belas) provinsi, yang salah satunya adalah RUU tentang Provinsi Sumatera Barat.


Isu :
Sebagaimana kita ketahui bahwa Provinsi Kalimatan Selatan pada saat ini masih menggunakan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Provinsi Kalimantan Barat Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur (UU tentang Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur). Undang-Undang tersebut lahir pada saat zaman konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS). Jika kita bandingkan ke kondisi saat ini, dimana konsep saat ini adalah otonomi daerah sebagai perwujudan dari desentralisasi yang kita anut jelas hal ini sudah tidak sejalan. Pada awalnya dahulu, konsep otonomi daerah itu muncul sebagai salah satu pembaharuan pola bernegara pasca reformasi adalah perubahan dari sistim yang sentralistik ke model desentraliasi. Amanat desentralisasi ini tercantum dalam amandemen kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) tepatnya di dalam perubahan Pasal 18. Dalam Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tersebut dapat kita ketahui bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan Kota, yang tiap- tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”, dalam hal konteks negara kesatuan pemahaman melihat pasal ini harus dibaca utuh pula dengan Pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”. Adapun ketika kita membaca secara utuh Pasal 4 ayat (1) jo. Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 kita akan mendapatkan pemahaman bahwa konstitusi secara nyata memberikan kekuasaan pemerintahan negara ini berada di tangan Presiden, beliau lah “nahkoda” utama dalam negara ini, namun kekuasaan yang ada di pusat itu dibagi kepada daerah-daerah untuk bisa mengurus wilayahnya namun dalam bentuk negara kesatuan. Itulah mengapa frasa yang digunakan adalah frasa “dibagi atas” dalam Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 bukan justru “terdiri atas”. Frasa “dibagi atas” yang digunakan dalam Pasal 18 ayat (1) memiliki maksud bahwa negara Indonesia adalah negara kesatuan yang kedaulatan negara berada di tangan Pemerintah (pusat) sesuai Pasal 4 ayat (1). Hal ini jelas dan sangat berbeda bilamana yang dipilih frasa “terdiri atas” yang lebih menunjukkan substansi federalisme karena istilah itu menunjukkan letak kedaulatan berada di tangan negara- negara bagian. Konsep otonomi daerah selalu berubah-ubah dan senantiasa mencari bentuk yang ideal. Konsep yang saat ini terakhir digunakan yakni melalui Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU tentang Pemda). Dalam konsep UU tentang Pemda ini, pandangan mengelola daerah yang sangat berbeda dengan UU tentang Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur yang merupakan dasar lahirnya provinsi Kalimantan Selatan. Sebagai contoh saja, misalnya dalam Pasal 3 ayat (1) UU tentang Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur dinyatakan bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Kalimantan-Barat, Kalimantan-Selatan dan Kalimantan-Timur masing-masing terdiri dari 30 anggota”. Hal ini jelas tidak sesuai lagi dengan kondisi saat ini dimana dalam Pasal 102 ayat (1) UU tentang Pemda yang mengatur bahwa “Anggota DPRD provinsi berjumlah paling sedikit 35 (tiga puluh lima) orang dan paling banyak 100 (seratus) orang”. Hal ini bahkan lebih tidak sesuai lagi karena perkembangan terbaru ada Pasal 188 ayat (1) UU tentang Pemda yang berbunyi “Jumlah kursi DPRD Provinsi ditetapkan paling sedikit 35 (tiga puluh lima) dan paling banyak 120 (seratur dua puluh)”. Begitu juga contoh lainnya yakni misalnya terkait dengan Pasal 5 pada Bagian II Urusan Kesehatan di UU tentang Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Pada ayat (1) dinyatakan bahwa “Propinsi mendirikan dan menyelenggarakan rumah-sakit umum dan balai pengobatan umum untuk kepentingan kesehatan dalam lingkungan daerahnya”. Hal ini jelas sudah sangat berbeda dengan paradigm memandang urusan kesehatan yang berdasarkanm Pasal 12 ayat (1) huruf b UU tentang Pemda menempatkan urusan kesehatan pada katagori urusan pemerintahan wajib yang berkaitan denagn pelayanan dasar. Lebih lanjut lagi, dalam UU tentang Pemda juga mempunyai lampiran yang berisi pembagian urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat dan daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota. Misalnya kita mau mencontohkan satu saja misalnya sumber daya manusia di bidang kesehatan, pemerintah pusat memiliiki peranan untuk penetapan standardisasi dan registrasi tenaga kesehatan Indonesia, tenaga kesehatan warga negara asing (TK-WNA), serta penerbitan rekomendasi pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTTKA) dan izin memperkerjakan tenaga asing (IMTA). Sedangkan provinsi hanya terbatas pada perencanaan dan pengembangan SDM Kesehatan untuk Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) daerah provinsi. Daerah kabupaten/kota beda lagi, mereka punya keweangan untuk penerbitan izin praktik dan izin kerja tenaga kesehatan, dan perencanaan dan pengebangan SDM UKM dan UKP daerah kabupaten/kota. Beberapa contoh diatas, menujukkan bahwa dasar provinsi Kalimantan Selatan dengan UU tentang Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur sudah tidak layak lagi. Pembentukan RUU tentang Kalsel ini sangat penting karena pengaturan yang ada sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman. Hal ini yang kemudian menjadi urgensi perlu dibentuknya RUU ini, karena memang dasar hukum yang masih belaku hingga saat ini mengusung semangat federalistik yang ada pada jaman RIS. Hal ini juga tentunya sudah sangat tidak cocok lagi dengan konsep otonomi daerah saat ini, sehingga perlu dibentuk RUU tersediri tentang Kalimantan Selatan sebagai solusi dari perkembangan hukum tersebut.


Isu :
Pengaturan mengenai daerah Sulawesi diatur pertama kali dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Sulawesi yang membagi Sulawesi menjadi 37 daerah-daerah tingkat II. Sebagai Langkah lanjutan maka dipandang perlu selekasnya membentuk daerah-daerah otonom tingkat I Sulawesi yang disamping mengatur dan mengurus rumah-tangganya sendiri, juga bertugas pula untuk mengkoordinir dan mengawasi daerah-daerah tingkat II yang telah ada. Sehubungan dengan hal itu maka pada tanggal 13 Desember 1960 Presiden Republik Indonesia, Soekarno menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 47 Tahun 1960 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara dan Daerah Tingkat I Sulawesi Utara-Tengah yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1961. Perppu Nomor 47 Tahun 1960 ini kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 47 Prp. Tahun 1960 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara dan Daerah Tingkat I Sulawesi Utara - Tengah (Lembaran Negara tahun 1960 Nomor 151). Undang-Undang Nomor 47 Prp. Tahun 1960 mengatur wilayah yang meliputi daerah propinsi-propinsi Administratif Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara, sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden No. 5 Tahun 1960 masing-masing dibentuk sebagai daerah tingkat I yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dan yang berturut-turut dinamakan Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan-Tenggara dan Daerah Tingkat I Sulawesi Utara – Tengah. Dapat disimpulkan bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 47 Prp. Tahun 1960 tersebut, akhirnya Provinsi Sulawesi Selatan terbentuk. Selanjutnya pada tahun 1964, dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia (Perppu) Nomor 2 Tahun 1964 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah dan Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara Dengan Mengubah Undang-Undang Nomor 47 Prp Tahun 1960 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Utara Tengah dan Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara maka daerah Sulawesi dibagi menjadi empat daerah pemerintahan dengan membentuk lagi dua Daerah Tingkat I yaitu Daerah Tingkat I Selawesi Tengah dan Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara. Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan-Tenggara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 47 Prp. Tahun 1960 (Lembaran Negara Tahun 1960 No. 151) kemudian diubah menjadi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan sehingga wilayahnya meliputi 21 Daerah Tingkat II dan 2 Kotapraja yaitu Kotapraja Pare-Pare dan Kotapraja Makasar. Lebih lanjut diundangkanlah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964 yang menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 1964 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah dengan mengubah Undang-Undang Nomor 47 Prp Tahun 1960 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Utara-Tengah dan Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan-Tenggara (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 7) Menjadi Undang-Undang. UU Nomor 13 Tahun 1964 tidak hanya mengatur Provinsi Sulawesi Selatan saja, namun juga mencakup Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara-Tengah, dan Sulawesi Selatan- Tenggara. Penguatan terhadap pembentukan Provinsi Sulawesi Selatan juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang saat ini telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015, yang mengatur berbagai hal pokok tentang pemerintahan daerah termasuk di Provinsi Sulawesi Selatan. Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi sebagaimana telah di ubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2011, menyatakan bahwa Gubernur berkewajiban menyampaikan informasi kegiatan yang dilaksanakan oleh instansi vertikal yang berada pada wilayah Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Indonesia sudah menggunakan konstitusi Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) yang diamandemen terakhir pada tahun 2002, dengan bentuk negara berupa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan sistem pemerintahan presidensiil. Dengan adanya tuntutan perkembangan saat ini, perlu diadakan pembaharuan terhadap undang-undang yang menjadi dasar pembentukan Provinsi Sulawesi Selatan. Urgensi pembaruan terhadap undang-undang yang menjadi dasar pembentukan Provinsi Sulawesi Selatan juga sejalan dengan hasil keputusan rapat internal Komisi II DPR RI tanggal 24 Agustus 2020, dimana salah satu hasil keputusan tersebut menyatakan bahwa Komisi II DPR RI akan melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang Kumulatif Terbuka tentang Perubahan Undang-Undang Pembentukan Provinsi, mengingat dasar hukumnya masih menggunakan UU Republik Indonesia Serikat, dimana dalam satu undang-undang masih terdapat penggabungan provinsi, yaitu: 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1958 tentang Provinsi Kalimatan Barat, Provinsi Kalimatan Selatan, dan Provinsi Kalimatan Timur; 2. Undang-Undang Nomor 61 Tahun 1958 tentang Provinsi Jambi, Provinsi Riau, dan Provinsi Sumatera Barat; 3. Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 tentang Provinsi Bali, Provinsi NTB, dan Provinsi NTT; dan 4. Perppu Nomor 2 Tahun 1964 tentang Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi Sulawesi Tengah, dan Provinsi Sulawesi Tenggara. Pada keputusan rapat internal Komisi II DPR RI tersebut, menugaskan Badan Keahlian DPR RI untuk menyusun Naskah Akademik dan Draf RUU 12 (dua belas) provinsi tersebut, berdasarkan Surat Nomor LG/075/KOM.II/VIII/2020 tertanggal 25 Agustus 2020. Oleh karena itu, semakin kuat dasar hukum penyusunan Naskah Akademik dan draf RUU 12 (dua belas) provinsi, dimana Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satunya. Dalam rangka penyusunan RUU tentang Provinsi Sulawesi Selatan, penting kiranya untuk mendapatkan masukan pakar dalam menyusun Naskah Akademik dan RUU tentang Provinsi Sulawesi Selatan, melalui kegiatan diskusi pakar.


Isu :
Provinsi Sulawesi Tenggara sebagai salah satu daerah otonom dibentuk berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1964 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 1964 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah Dan Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara Dengan Mengubah Undang-Undang Nomor 47 Prp Tahun 1960 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Utara-Tengah dan Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan-Tenggara (Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964). DPR RI melalui alat kelengkapan Komisi 2 melakukan inisiatif melakukan penyesuaian RUU tentang Provinsi Sulawesi Tenggara. Urgensi penyesuaian RUU tentang Provinsi Sulawesi Tenggara terdapat dua hal, pertama, adanya legal vacum terhadap dasar hukum pembentukan Provinsi Sulawesi Tenggara, karena dasar pembentukan Provinsi Sulawesi Tenggara masih mendasarkan pada peraturan perundang-undangan yang sudah diubah dan tidak berlaku lagi di antaranya Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) sampai dengan ayat (4), Pasal 18 dan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diubah dalam amandemen pertama dan amandemen kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pemerintah Daerah juga telah dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015. Kedua, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964 belum memuat materi muatan yang mencerminkan potensi daerah di Provinsi Sulawesi Tenggara. Untuk itu, perlu untuk meninjau kembali keberlakuan Undang- Undang Nomor 13 Tahun 1964 melalui penyesuaian RUU tentang Provinsi Sulawesi Tenggara yang disertai dengan Naskah Akademik sebagai landasan dalam pembentukan rancangan undang-undang.


Isu :
pengaturan Provinsi NTB yang terbentuk melalui UU tentang Bali, NTB, dan NTT terhitung sejak tanggal 14 Agustus 1958 hingga saat ini tahun 2020, menjadikan Provinsi NTB telah sangat lama dari sisi pengaturannya. Lebih lanjut, UU tentang Bali, NTB, dan NTT yang telah berusia selama 62 (enam puluh dua) tahun tersebut juga masih berdasarkan pada Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (UUDS Tahun 1950) dan dalam bentuk Negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Demikian pula pola otonomi daerah yang berlaku pada saat UU tentang Bali, NTB, dan NTT tersebut terbentuk masih berdasarkan kepada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah padahal yang berlaku pada saat ini adalah Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015. Lebih lanjut, terkait dengan konsep otonomi daerah yang ada saat ini di Provinsi NTB berdasarkan UU tentang Bali, NTB, dan NTT banyak hal yang sudah tidak sejalan. Sebagai contoh, dari segi judul UU tentang Bali, NTB, dan NTT masih menggunakan nomenklatur Daerah Tingkat I, padahal sejak diberlakukannya UU tentang Pemda Tahun 1999 nomenklatur tersebut tidak digunakan lagi karena diganti dengan istilah Provinsi. Secara konsep UU tentang Bali, NTB, dan NTT, jelas sudah sangat berbeda dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini, sehingga ini merupakan momentum yang tepat untuk membentuk undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai Provinsi NTB. Berdasarkan UU tentang Pemda Tahun 2014 maka sepatutnya pula dilakukan penyesuaian agar pembangunan di Provinsi NTB dapat meningkatkan perekonomian dan menyejahterakan masyarakat Provinsi NTB. Dengan demikian perlu membentuk Rancangan Undang-Undang tentang Provinsi Nusa Tenggara Barat (RUU tentang Provinsi NTB) yang terpisah dari UU tentang Bali, NTB, dan NTT.


logo

Hubungi Kami

  • Gedung Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RI Lantai 7, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270
  • 021 5715 730
  • bkd@dpr.go.id

Menu

  • Beranda
  • Tentang
  • Kegiatan
  • Produk
  • Publikasi
  • Media

Sosial Media

  • Twitter
  • Facebook
  • Instagram
  • Linkedin
  • YouTube
support_agent
phone
mail_outline
chat