Buku Tim

Kebijakan Ekonomi Maritim Indonesia: Pembangunan Tol Laut sebagai Basis Pertumbuhan dan Pemerataan - 2015

Penulis : Dr. Suhartono, S.IP., M.P.P.

Isu :
Indonesia sebagai suatu kesatuan negara dan bangsa memiliki potensi dan kapasitas di sektor maritim dan kelautan. Potensi dan kapasitas tersebut terbentuk oleh kondisi geografis sebagai negara kepulauan yang bentangan wilayahnya ada daratan dan lautan. Apa dan bagaimana seharusnya visi pembangunan kemaritiman mampu menjadi solusi bagi daerah tertinggal menjadi pembahasan dari artikel ini. Tujuannya untuk menilai sejauhmana kebijakan pembangunan kemaritiman yang menjadi visi pembangunan Presiden Joko Widodo dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) tahun 2015-2019 memiliki hubungan atau menjadi bagian dari strategi pembangunan berkelanjutan dalam menuntaskan persoalan ketertinggalan yang dihadapi sejumlah daerah di Indonesia.

Penulis : Rafika Sari, S.E., M.S.E.

Isu :
Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki potensi ekonomi maritim dengan posisi strategis di antara dua benua yang menghubungkan negara ekonomi maju dan negara berkembang lainnya. Sektor transportasi laut berperan memberikan peluang sebagai jalur ekonomi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan merupakan konektivitas yang efektif untuk menghubungkan daerah-daerah yang tersebar di seluruh Indonesia. Tulisan ini akan mengemukakan: (a) kondisi pelabuhan laut di Indonesia dan upaya pengembangan pelabuhan yang direncanakan oleh PT. Pelabuhan Indonesia (Persero) sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi wilayah, dan (b) upaya yang dilakukan untuk mengurangi inefisiensi kinerja BUMN di Indonesia, khususnya di bidang logistik.

Penulis : T. Ade Surya, S.T., M.M.

Isu :
Infrastruktur merupakan faktor yang sangat penting sebagai katalisator pembangunan, termasuk pembangunan di sektor maritim. Bentuk kesiapan infrastruktur untuk menunjang pembangunan sektor maritim salah satunya adalah dengan membangun dan membenahi fungsi pelabuhan di pusat-pusat ekonomi. Mengingat pentingnya peranan infrastruktur dalam pembangunan di sektor maritim khususnya infrastruktur pelabuhan, maka tujuan dari tulisan ini adalah untuk membahas kebijakan dan strategi yang tepat agar pembangunan dan penguatan infrastruktur maritim dapat segera terealisasi dan terlaksana dengan baik. Adapun fokus dalam tulisan ini akan membahas: (a) peran infrastruktur dalam pembangunan sektor maritim; (b) pelabuhan dan transportasi laut Indonesia; (c) upaya dan hambatan yang dihadapi dalam pembangunan dan penguatan infrastruktur maritim; dan (d); reorientasi kebijakan pembangunan dan penguatan infrastruktur maritim.

Penulis : Eka Budiyanti, S.Si., M.S.E.

Isu :
Peranan sektor perikanan dalam pembangunan nasional terutama adalah mendorong pertumbuhan agroindustri melalui penyediaan bahan baku, meningkatkan devisa melalui peningkatan ekspor hasil produk perikanan, meningkatkan kesempatan kerja, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan dan pembudidaya ikan serta menunjang pembangunan nasional. Mengingat pentingnya sektor perikanan terhadap perekonomian Indonesia, maka dalam hal ini akan dilakukan analisis empiris mengenai bagaimana peran kebijakan moneter terhadap pertumbuhan sektor perikanan. Dengan demikian dapat diketahui variabel-variabel makroekonomi apa saja yang paling memengaruhi pertumbuhan sektor perikanan. Diharapkan hasil ini dapat dijadikan masukan bagi pemerintah maupun otoritas moneter dalam menentukan kebijakan yang dapat mendukung sektor perikanan.


Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan dan Penegakan Hukum di Laut - 2015

Penulis : Shanti Dwi Kartika, S.H., M.Kn.

Isu :
Tulisan ini menggambarkan Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki sumber daya alam di bidang laut yang masih belum dikelola dan dimanfaatkan oleh negara secara optimal. Sejumlah regulasi ditetapkan untuk mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam di laut, yang bukan hanya di atas permukaannya saja, melainkan juga di bagian-bagian laut lainnya, yaitu bagian kedalaman dan dasar laut. Penulis menggambarkan peran pemerintah daerah untuk melaksanakan kewenangan mereka di bidang kelautan dilakukan melalui Peraturan Daerah. Melalui perda ini diharapkan pemerintah daerah dapat mengambil tindakan/kebijakan dan langkah riil untuk mengelola sumber daya laut. Pemerintah daerah membuat perencanaan spasial dan non-spasial, tetapi pemerintah daerah belum diberikan peran kelembagaan untuk mengurus zonasi sebagai bagian dari pengurusan dan rencana aksi sebagai rencana pengelolaan.

Penulis : Denico Doly, S.H., M.Kn.

Isu :
Penulis mencoba melihat laut memiliki potensi sumber daya potensial atau obyek yang dapat dikelola oleh pemerintah daerah. Penulis mencoba melihat tata kelola dan pengelolaan laut tersebut dari perspektif hukum, khususnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Sintesa dari penulis akhirnya menyimpulkan bahwa laut sebagai obyek merupakan titik sentral dalam tata kelola dan pengelolaan, dan akhir dari sintesa penulis berpijak bahwa dengan adanya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan diharapkan dapat menjawab secara hukum tertulis segala hal yang berhubungan dengan permasalahan yang ada dan diharapkan aturan tertulis tersebut dapat diterapkan oleh seluruh masyarakat, termasuk peran dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah juga adanya penegakan hukum apabila terjadi pelanggaran hukum atas hal tersebut.

Penulis : Monika Suhayati, S.H., M.H.

Isu :
Sumber daya kelautan terdapat juga di wilayah pesisir hal ini mengingat Indonesia sebagai salah satu negara kepulauan terbesar di dunia dan sebagai salah satu negara yang mempunyai garis pesisir terpanjang di dunia. Penulis mengingatkan sebagai konsekuensi negara kepulauan dan negara pesisir, di wilayah pesisir terdapat sumber daya alam dan jasa lingkungan yang sangat kaya yang dapat dinikmati oleh rakyat Indonesia. Penulis menyadari begitu besar kepentingan atas potensi sumber daya pesisir tersebut menimbulkan sejumlah permasalahan dan penulis mencoba untuk menganalisis permasalahan tersebut dengan memberikan solusinya, yang tujuan dari solusi ini di satu sisi dapat meningkatkan tingkat hidup masyarakat di pesisir tersebut, dan di sisi lain adanya peran yang jelas dari negara melalui pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk membagi peran dan tugas secara nyata.

Penulis : Prianter Jaya Hairi, S.H., LLM.

Isu :
Penulis memfokuskan diri pada paradigma penegakan hukum di laut oleh pemerintah daerah. Penulis menyadari bahwa di era otonomi daerah, pemerintah daerah dibagi dalam wilayah, yang berupa daratan dan lautan. Di dalam wilayah tersebut, seringkali terjadi pelanggaran hukum atas laut yang berada dalam wilayahnya. Mengingat pengaturan kewenangan di laut sering berubah, maka hal tersebut juga memberikan pengaruh terhadap aspek penegakan hukumnya. Hal inilah yang menurut penulis dianggap sebagai “biang keladi” yang menyebabkan belum optimalnya penegakan hukum di laut. Ini dapat dilihat dari terjadinya perubahan otonomi pengelolaan laut oleh daerah. Dengan diundangkannya UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Kelautan, penegakan hukum di laut sudah dapat dilaksanakan oleh PPNS daerah. Walaupun UU Kelautan telah mengatur tentang penegakan hukum di laut, penulis menyarankan adanya koordinasi dalam pengawasan di laut agar tidak terjadi pelanggaran hukum atas pemanfaatan dan tata kelola sumber daya alam di laut.


Menuju Indonesia Sehat dan Jaminan Kesehatan Nasional yang Lebih Baik - 2015

Penulis : Rahmi Yuningsih, S.K.M., M.K.M.

Isu :
Tulisan ini menekankan pada bagaimana pengintegrasian dan upaya menjaga keberlanjutan program-program pembangunan kesehatan dengan melihat transisi jaminan kesehatan. Penulis membawa kita pada keberadaan awal jaminan kesehatan yang dikelola daerah dengan melihat karakter kedaerahannya. Berbagai program tersebut harus menyesuaikan diri dengan jaminan kesehatan nasional yang berasal dari pusat diiringi dengan berbagai target yang harus dipenuhi oleh daerah. Kekhawatiran yang disampaikan oleh penulis adalah mekanisme keberlanjutan program pembangunan daerah untuk mencapai jaminan kesehatan universal.

Penulis : Yulia Indahri, S.Pd., M.A.

Isu :
Tulisan mengangkat permasalahan secara deduktif, mulai dari permasalahan di tingkat kabupaten/kota, kemudian ke tingkat provinsi, dan selanjutnya ke tingkat nasional. Penulis mencoba melihat kondisi di daerah yang mendorong pemerintah setempat menjalankan kebijakan yang lebih dapat mengakomodasi kebutuhan Kota Kupang. Diharapkan ada pembelajaran dari pelaksanaan pembangunan kesehatan yang telah berlangsung selama ini untuk lebih memahami peluang penerapan kebijakan yang lebih baik.

Penulis : Elga Andina, S.Psi., M.Psi.

Isu :
Secara lebih khusus, tulisan ini mencoba mengkaji salah satu permasalahan pembangunan kesehatan yang terkadang terpinggirkan, yaitu permasalahan kesehatan jiwa. Kajian di salah satu puskesmas di Kota Pekanbaru, Provinsi Riau menjadi awal diskusi akan kebutuhan pelayanan kesehatan jiwa yang semakin tinggi mengingat prevalensi gangguan kejiwaan di Indonesia terus meningkat. Oleh karena itu, peran puskesmas sebagai fasilitas kesehatan pertama yang diakses masyarakat sebagai garda terdepan pelayanan kesehatan jiwa perlu ditingkatkan.

Penulis : Tri Rini Puji Lestari, S.K.M., M.Kes.

Isu :
Tulisan menjadi penutup dengan kajian yang menguraikan bagaimana pelaksanaan Program JKN dan hubungannya dengan akses masyarakat miskin terhadap pelayanan kesehatan. Hal ini sangat menarik karena dalam UU SJSN dan UU BPJS diamanatkan bahwa Program JKN harus dapat memberikan jaminan kesehatan yang berkualitas bagi masyarakat.


Pemilu Serentak dalam Sistem Pemerintahan Indonesia - 2015

Penulis : Dewi Sendhikasari Dharmaningtias, S.IP., MPA

Isu :
Tulisan menyoroti tentang partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemilu. Salah satu permasalahan yang perlu diperhatikan yaitu tingkat partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemilu. Selama ini tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilu di Indonesia cenderung mengalami penurunan. Banyaknya golput dapat dilihat bahwa semakin modern tingkat berpikir masyarakat saat ini untuk memilih menggunakan haknya atau tidak dalam pemilu. Ke depan penyelenggaraan pemilu yang efektif dan efisien dan penataan ulang sistem pemilihan di Indonesia dengan perbaikan terhadap peraturan perundang-undangan terkait pemilu. Dengan demikian akan dihasilkan produk hukum yang sinergis dan tercipta efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemilu di Indonesia.


Pengembangan Teknologi Informasi Komunikasi bagi Pelayanan Publik dan Keamanan Nasional di Daerah - 2015

Penulis : Aryojati Ardipandanto, S.IP., M.Sos

Isu :
Semenjak bergulirnya masa reformasi di Indonesia, seluruh kegiatan pemerintahan mengalami transformasi yang dikenal dengan nama reformasi birokrasi. Salah satu program reformasi adalah penerapan electronic government (e-government) di lingkungan perkantoran pemerintah. Akselerasi penerapan reformasi birokrasi di pemerintahan dapat dipercepat dengan implementasi e-government, dikarenakan pemanfaatan Information Communication Technology (ICT) akan membuat administrasi perkantoran semakin efektif dan efisien.

Penulis : Drs. Ahmad Budiman, M.Pd.

Isu :
Prinsip penggunaan yang lebih efektif dan efisien, menjadikan TIK juga digunakan dan bahkan dijadikan ukuran keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan baik di tingkat pusat maupun di daerah terutama dalam memberikan pelayanan publik. Penataan sistem manajemen dan proses kerja di lingkungan pemerintah, dilaksanakan dengan mengoptimalkan penggunaan TIK. Tulisan ini bertujuan menganalisis penggunaan TIK pada aspek pelayanan publik dan pengelolaan informasi rahasia di daerah, terutama dalam kaitannya dengan jaminan atas kerahasiaan informasinya.


Penyediaan Air Bersih di Indonesia: Peran Pemerintah, Pemerintah Daerah, Swasta, dan Masyarakat - 2015

Penulis : Dr. Rohani Budi Prihatin, S.Ag., M.Si.

Isu :
Tulisan ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan di Kota Bandung dan Kota Palembang pada tahun 2015. Permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah tentang cakupan layanan penyediaan air bersih di perkotaan, ketimpangan sumber air baku, dan kebijakan yang perlu dilakukan untuk meminimalisasi problem air bersih di kedua kota yang diteliti.

Penulis : Anih Sri Suryani, S.Si., M.T.

Isu :
Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji penyediaan air bersih di perdesaan baik ditinjau dari kebijakan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Program dan kegiatan yang dilakukan pemerintah daerah khususnya di Provinsi Jawa Barat dikaji lebih mendalam untuk mengetahui sejauh mana upaya yang telah dilakukan dalam penyediaan air bersih kepada masyarakat di perdesaan. Metoda deskriptif kualitatif digunakan untuk memaparkan kebijakan pemerintah pusat, upaya pemerintah daerah dan program-program yang telah dijalankan dalam upaya penyediaan air bersih di perdesaan. Data dikumpulkan selain dari sumber sekunder, juga melalui wawancara langsung dengan instansi terkait seperti Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan Perpamsi, juga dilakukan penelitian lapangan di Provinsi Jawa Barat yang dilaksanakan pada tanggal 23 sampai dengan 29 Maret 2015.

Penulis : Sri Nurhayati Qodriyatun, S.Sos., M.Si.

Isu :
Pada tulisan ini permasalahan yang akan dikaji adalah mungkinkah dilakukan kerja sama antar-pemerintah daerah dalam perlindungan daerah resapan air dalam rangka penyediaan air bersih? Mengingat setelah adanya kebijakan otonomi daerah, setiap daerah memiliki kewenangan mengatur dan membuat kebijakan sendiri atas daerahnya, termasuk dalam pemanfaatan lahan yang ada. Tulisan ini merupakan hasil penelitian tahun 2015 yang dilakukan di Provinsi Jawa Barat. Provinsi Jawa Barat dipilih sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan bahwa di provinsi ini terdapat beberapa wilayah yang ketersediaan airnya sangat tergantung pada daerah lainnya. Namun untuk pembatasan pembahasan, maka bahasan tulisan dibatasi pada penyediaan air bersih di Kota Bandung. Wilayah Kota Bandung berada di Cekungan Bandung, yang di dalamnya terdapat lima pemerintahan daerah yaitu Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi, dan Kabupaten Sumedang. Penyediaan air bersih di Kota Bandung sangat terpengaruh dengan ketersediaan air baku yang berada di wilayah sekitarnya.

Penulis : Teddy Prasetiawan, S.T., M.T.

Isu :
Permasalahan utama yang akan diuraikan dalam tulisan ini adalah peran industri AMDK pasca pembatalan UU SDA di tengah-tengah ketidakmampuan negara dalam menyediakan air minum bagi masyarakatnya. Mengarah pada permasalahan utama tersebut, pembahasan pendukung dalam tulisan ini akan mengupas tentang ketebatasan SDA, kemampuan Pemerintah dalam menyediakan air bersih dan air minum, serta sejarah perkembangan industri AMDK di Indonesia. Tulisan ini merupakan hasil penelitian dengan judul “Kebijakan Penyediaan Air Bersih di Indonesia” yang diselenggarakan pada tahun 2015 oleh Pusat Pengkajian dan Pengolahan Data dan Informasi (P3DI), Sekretariat Jenderal DPR RI.

Penulis : Sulis Winurini, S.Psi., M.Psi.

Isu :
Sebagian besar media menyebutkan adanya permasalahan kepedulian masyarakat terhadap kebersihan air sungai dengan melihat kepada penyebab pencemaran air sungai yang didominasi oleh tingginya pembuangan limbah rumah tangga. Dengan asumsi seperti ini, peneliti tertarik untuk meneliti secara langsung sikap masyarakat yang tinggal di sekitar sungai. Dengan demikian, pertanyaan masalah yang ingin dijawab peneliti melalui tulisan ini adalah: Bagaimana gambaran sikap masyarakat terhadap kebersihan Sungai Cikapundung? Bagaimana sikap tersebut bisa terbentuk? Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan sikap masyarakat terhadap kebersihan sungai Cikapundung dan untuk menggambarkan pembentukan sikap masyarakat.


Peran Sektor Keuangan terhadap Perekonomian Indonesia - 2015

Penulis : Dr. Rasbin, S.TP., M.S.E.

Isu :
Berkaca pada krisis ekonomi 1997 dan krisis global 2008, mengantisipasi terjadinya krisis di masa datang merupakan keharusan bagi Indonesia agar dampak dari krisis tersebut dapat diantisipasi atau paling tidak diminimalisir. Oleh karena itu, dalam menghadapi ekonomi global yang masih penuh ketidakpastian dibutuhkan beberapa instrumen yang selalu siap sedia mendeteksi segala perubahan mendadak yang mungkin bisa membahayakan perekonomian nasional. Salah satu caranya adalah dengan membuat suatu sistem peringatan dini atau early warning system (EWS). Tulisan ini mencoba mengulas model-model EWS parametrik tentang krisis keuangan baik secara teori maupun empiris kemudian mengkaitkannya dengan data-data indikator makroekonomi yang ada di Indonesia. Harapannya, bab ini dapat menjadi sebuah referensi dalam penyusunan UU JPSK karena UU JPSK sangat penting sebagai payung hukum dalam menjaga stabilitas perekonomian Indonesia terutama saat terjadi krisis ekonomi.

Penulis : Dr. Ari Mulianta Ginting, S.E., M.S.E.

Isu :
Fungsi bank sebagai lembaga intermediasi di Indonesia pernah mengalami keterpurukan pada tahun 1997. Ekspansi penyaluran kredit dapat dikatakan tidak berjalan. Indikasi ini terlihat dari pertumbuhan realisasi kredit yang sangat tertinggal dari pertumbuhan kapasitas penyaluran kredit. Dengan kata lain terjadi kesenjangan (gap) yang besar antara kedua variabel tersebut. Berdasarkan paparan diatas, maka tulisan ini mencoba memberikan gambaran mengenai perkembangan kredit yang disalurkan oleh perbankan di Indonesia. Selain itu juga mencoba melakukan analisis pengaruh kredit perbankan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sehingga berdasarkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi terhadap berbagai stakeholder terkait perkembangan industri perbankan dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

Penulis : Dr. Ariesy Tri Mauleny, S.Si., M.E.

Isu :
Kebijakan PMN masih dinilai negatif karena PMN selalu dikaitkan dengan BUMN yang merugi. Anggapan ini muncul karena dalam prakteknya pemerintah dan DPR seringkali memberikan PMN kepada BUMN merugi, seolah PMN memang untuk BUMN merugi dan pemerintah dianggap mensubsidi BUMN. Padahal alasan diberikannya PMN karena perusahaan negara atau BUMN seharusnya menjadi salah satu pilar perekonomian bangsa melalui peningkatan kinerja sektor keuangan. Dilatarbelakangi hal-hal diatas, tulisan ini memiliki dua tujuan. Pertama, memberikan gambaran mengenai perkembangan kebijakan BUMN dan penyertaan modal negara terhadap kinerja keuangan. Kedua, menjelaskan bagaimana realisasi dan permasalahan dalam PMN kepada BUMN dan upaya penanggulangannya. Tulisan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi masukan terhadap pihak-pihak terkait dalam pengambilan kebijakan terkait penyertaan modal negara dan pengembangan BUMN bagi sektor keuangan.

Penulis : Nidya Waras Sayekti, S.E., M.M.

Isu :
Sistem keuangan syariah yang berlaku di Indonesia adalah jenis Islamic Retail Banking. Berbeda dengan Malaysia yang menerapkan jenis Islamic Coorporate Banking, dimana mayoritas dana perbankan syariahnya berasal dari pemerintah sehingga cost of fund-nya bisa lebih murah. Sedangkan negara Timur Tengah menerapkan jenis Islamic Investment Banking, dimana nasabahnya mayoritas orang kaya yang tidak memerlukan pembiayaan sehingga dana bank diinvestasikan di bursa komoditi. Oleh karena itu, kesuksesan perbankan syariah di Indonesia tidak bisa diukur dengan pangsa pasarnya karena tidak apple to apple. Alat ukur yang dapat digunakan adalah jumlah nasabah yang dilayani dan kantor cabang yang melayani. Tulisan ini membahas mengenai peran perbankan syariah dalam mendukung pertumbuhan ekonomi sektor riil dengan beberapa fokus permasalahan yaitu bagaimana perkembangan kinerja perbankan syariah di Indonesia dalam mendukung pertumbuhan ekonomi sektor riil? serta apa saja kendala dan masalah yang dihadapi oleh perbankan syariah dalam mendukung pertumbuhan ekonomi?

Penulis : Lisnawati, S.Si., M.S.E.

Isu :
Sejarah perekonomian mencatat desentralisasi telah muncul ke permukaan sebagai paradigma baru dalam kebijakan dan administrasi pembangunan sejak dasawarsa 1970-an. Tumbuhnya perhatian terhadap desentralisasi tidak hanya dikaitkan dengan gagalnya perencanaan terpusat dan populernya strategi pertumbuhan dengan pemerataan (growth with equality), tetapi juga adanya kesadaran bahwa pembangunan adalah suatu proses yang kompleks dan penuh ketidakpastian yang tidak mudah dikendalikan dan direncanakan dari pusat. Kerena itu dengan penuh keyakinan para pelopor desentralisasi mengajukan sederet panjang alasan dan argumen tentang pentingnya desentralisasi dalam perencanaan dan administrasi di negara dunia ketiga.

Penulis : Venti Eka Satya, S.E., M.Si., Ak.

Isu :
Reformasi di bidang keuangan negara diikuti dengan langkah besar yang dilakukan dibidang akuntansi pemerintahan, yaitu dengan dikeluarkannya PP Nomor 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) yang mewajibkan Laporan Keuangan Tahun Anggaran 2005 disusun berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintahan. Sejak saat itu pemerintah Indonesia telah melaksanakan pelaporan keuangan dengan basis kas menuju akrual yang selanjutnya digantikan dengan PP Nomor 71 tahun 2010. SAP Lampiran II PP Nomor 71 tersebut menyatakan bahwa masa efektif standar dimaksud hanya sampai dengan pelaksanaan anggaran tahun 2014. Sesudahnya semua laporan keuangan atas pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran entitas pemerintah harus menggunakan basis akrual yang standarnya telah ditetapkan pada Lampiran I PP 71 tahun 2010. Tulisan ini merupakan studi pustaka yang memaparkan mengenai bagaimana perkembangan akuntansi pemerintahan di Indonesia serta bagaimana peran akuntansi akrual dalam meningkatkan akuntabilitas keuangan negara.


Perdagangan Orang: Pencegahan, Penanganan, dan Pelindungan Korban - 2015

Penulis : Dinar Wahyuni, S.Sos., M.Si.

Isu :
Secara khusus penulis mengkaji pencegahan perdagangan orang berbasis partisipasi masyarakat. Peran aktif masyarakat dalam upaya mencegah perdagangan orang diharapkan dapat mengurangi jumlah kasus perdagangan orang. Dalam hal ini, masyarakat berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat dan pihak-pihak terkait.

Penulis : Dr. Achmad Muchaddam F., S.Ag., M.A.

Isu :
Romo Eduardos di Ende, Keuskupan Agung Ende, Romo Soni kepala seminari Labuan Bajo, Suster Yosefin Yayasan JPIC SSPS (Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan) Ruteng Manggarai merupakan tiga tokoh agama yang dipandang aktif dalam melakukan penyadaran terhadap human trafficking di NTT. Masalah utama yang diurai penulis dalam artikel ini adalah situasi perdagangan orang di NTT, faktor penyebab, pencegahan dan penanganan, dan partsipasi tokoh agama dalam penanganan perdagangan orang.


Persaingan Usaha dan Daya Saing Ekonomi Indonesia - 2015

Penulis : Dewi Restu Mangeswuri, S.E., M.Si.

Isu :
Pasal 36 huruf c Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat disebutkan mengenai wewenang KPPU yang dapat melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh Komisi sebagai hasil penelitiannya, namun dalam kenyataannya, wewenang tersebut belum dapat dilaksanakan secara efektif oleh KPPU. Salah satu kasus yang sulit ditindak oleh KPPU adalah importir yang terbukti melakukan kartel. Masalah ini timbul akibat keterbatasan wewenang KPPU untuk mengusut indikasi praktik kartel di dunia usaha. Salah satu kesulitannya adalah mencari bukti kuat praktik kartel. Menurut Komisioner KPPU Ketua Bidang Pengkajian Munrokim Misanam, KPPU harus mencari bukti secara memutar karena tak memiliki wewenang untuk menggeledah. Keterbatasan wewenang ini menjadikan kerja KPPU menuntaskan persoalan kartel menjadi terhambat.

Penulis : Sony Hendra Permana, S.E., M.S.E.

Isu :
Berbagai tantangan mulai tumbuh seiring dengan berkembangnya industri UMKM. Persaingan antar pelaku usaha industri jasa keuangan baik formal maupun informal terjadi dalam rangka penguasaan pasar layanan jasa keuangan, khususnya dalam penyaluran kredit. Persaingan usaha tidak lagi antara BPR dengan BPR namun juga persaingan antara BPR dengan bank umum. Selanjutnya persaingan juga dihadapi oleh BPR dengan lembaga jasa keuangan lainnya, seperti koperasi, BMT, dan lain-lain. Selain persaingan dengan sektor formal, BPR juga bersaing juga dengan sektor informal seperti rentenir. Ketatnya persaingan usaha yang dihadapi pelaku usaha BPR, menjadi suatu tantangan tersendiri. Untuk itu diperlukan suatu pengawasan terhadap persaingan usaha agar tercipta suatu persaingan yang sehat dan mampu bersinergi dengan pelaku usaha jasa keuangan lainnya.

Penulis : Niken Paramita Purwanto, S.E., M.Ak.

Isu :
Masalah persaingan merupakan konsekuensi logis yang timbul dengan hadirnya retailer “modern”. Permasalahan timbul ketika retailer “modern” mulai, memasuki wilayah keberadaan retailer tradisional. Ekspansi agresif untuk pendirian pusat perbelanjaan “modern” ini sudah mendapat izin dari Pemerintah Daerah yang bersangkutan dimana proses pemberian izin oleh aparat setempat tidak dilakukan secara transparan dan sering berbenturan dengan berbagai kepentingan pribadi di dalamnya. Beberapa faktor yang perlu dikaji dalam industri retail tersebut adalah faktor regulasi, faktor efisiensi produk dan “economics of scope”, faktor lokasi, faktor perilaku konsumen termasuk pola selera konsumsi masyarakat serta karakteristik dari produk yang dijual.

Penulis : Hilma Meilani, S.T., MBA.

Isu :
Pemerintah perlu segera mempersiapkan langkah dan strategi untuk menghadapi AEC dengan kebijakan-kebijakan nasional yang dapat mendorong dan meningkatkan efisiensi dan daya saing Indonesia. Berdasarkan Indeks Daya Saing Global 2015, tingkat daya saing Indonesia berada pada posisi 34, masih di bawah negara-negara ASEAN seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand. Keberadaan kebijakan persaingan usaha adalah untuk mengupayakan secara optimal terciptanya persaingan usaha yang sehat dan efektif pada suatu pasar tertentu, dengan tujuan mendorong agar pelaku usaha melakukan efisiensi sehingga mampu bersaing dengan para pesaingnya. Kebijakan persaingan diperlukan dalam mewujudkan kesejahteraan melalui efisiensi pasar yang mendorong terciptanya pertumbuhan ekonomi dan daya saing nasional. Permasalahan yang akan dibahas adalah bagaimana peran kebijakan persaingan usaha dalam menciptakan efisiensi dan daya saing Indonesia dalam menghadapi AEC tahun 2015.

Penulis : Dewi Wuryandani, S.T., M.M.

Isu :
Semakin meningkatnya persaingan dalam hal perdagangan komoditas yang terjadi di antara negara-negara pada kawasan, maka timbullah respon dari masing-masing negara untuk melindungi negaranya. Salah satunya adalah dengan membuat berbagai regulasi di bidang perdagangan yang mampu melindungi pasar dalam negeri dan dapat bersaing dengan produk/komoditas dari negara lain. Sehingga sangatlah penting untuk membahas kebijakan atau langkah-langkah strategis yang telah dilakukan, permasalahan yang masih dihadapi, dampaknya terhadap moneter dan apa saja yang harus dipersiapkan pemerintah sebagai regulator dalam menghadapi persaingan dibidang perdagangan internasional khususnya dikawasan ASEAN.

Penulis : Edmira Rivani, S.Si., M.Stat.

Isu :
Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa pelaksanaan ACFTA bagi Indonesia memberikan berbagai dampak bagi Indonesia baik positif maupun negatif. Dari dampak positif diketahui bahwa dengan adanya ACFTA, Indonesia berpeluang dan mempunyai kesempatan dalam meningkatkan ekspor serta produk dan industri Indonesia bisa bersaing dengan produk luar. Komoditas ekspor dari Indonesia berpeluang meningkat 2,1% terutama bersumber dari peningkatan ekspor ke China.2 Sementara dari sisi yang merugikan, dengan penduduk di Indonesia yang kebanyakan konsumtif ini menurunkan tingkat simpanan penduduk di negara berkembang tersebut sehingga meningkatkan kemiskinan. Impor dari ASEAN dan China berdampak pada menurunnya simpanan negara-negara ASEAN, penyebabnya adalah kemudahan akses terhadap barang sehingga mendorong perilaku konsumtif. Namun hal ini dapat dihindari dengan meningkatkan pendapatan perkapita melalui promosi ekspor dan investasi asing.


Sistem Peradilan Pidana Anak: Peradilan untuk Keadilan Restoratif - 2015

Penulis : Novianti, S.H., M.H.

Isu :
Anak pelaku tindak pidana dalam proses penyidikan harus tetap memperoleh perlindungan hukum demi kepentingan terbaik bagi anak sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak (KHA) dan Beijing Rules. Permasalahan dalam tulisan ini adalah bagaimana KHA terkait dengan perlindungan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana dan perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana dalam proses penyidikan. Ketentuan hukum nasional mengenai perlindungan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana, yang dimuat dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002, dan UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, telah disesuaikan dengan KHA dan Beijing Rules, yang dilakukan melalui harmonisasi hukum. Ketentuan yang telah sesuai tersebut, antara lain mengenai perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana dalam proses penyidikan, yang meliputi: penangkapan, pemeriksaan, upaya diversi dan penahanan.

Penulis : Marfuatul Latifah, S.H.I., LL.M.

Isu :
Tulisan ini dapat memberikan pemahaman kepada pembaca mengenai bagaimana keadilan restoratif diterapkan dalam proses peradilan perkara anak. Fokus tulisan adalah penanganan perkara anak di tahap penyidikan, yang merupakan pintu masuk dari penegakan hukum secara formal. Dalam praktek, penerapan Diversi di tahapan penyidikan belum dilaksanakan dengan efektif. Diversi dalam tahapan penyidikan perkara anak sulit ditegakkan bagi delik biasa. Kendala dalam penerapan Diversi pada tahapan penyidikan perkara anak adalah pemahaman akan konsep keadilan restoratif yang belum benar-benar dipahami oleh berbagai pihak yang berkepentingan dalam penyidikan perkara anak. Perlunya dilakukan sosialisasi lebih mendalam atas paham keadilan restoratif di masyarakat luas, sehingga perlindungan hak anak untuk tumbuh kembang sebagaimana mestinya dapat diberikan, walaupun anak tersebut telah melakukan tindak pidana.

Penulis : Luthvi Febryka Nola, S.H., M.Kn.

Isu :
LPKS berperan melindungi hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum melalui kegiatan kesejahteraan sosial meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial. Dalam melakukan kegiatan kesejahteraan sosial tersebut, LPKS mengalami sejumlah kendala terkait dengan pendekatan sosial yang dipergunakan. Kendala tersebut antara lain keterbatasan sarana dan prasarana yang menyebabkan pengekangan secara fisik terhadap anak yang berada di LPKS. Belum lagi masalah mengenai siapa yang menjadi penanggung jawab apabila anak yang berkonflik dengan hukum tersebut melarikan diri. Selain itu, belum adanya Standar Operasional Baku (SOB)/ Standard of Procedure (SOP) penanganan anak yang berkonflik dengan hukum memicu ketidakjelasan masalah anggaran dan tata cara penanganan anak yang berkonflik dengan hukum oleh LPKS. Untuk mengatasi kendala tersebut, LPKS memberdayakan berbagai panti dan tenaga sosial yang ada, mengikutsertakan anak dalam program jaminan sosial nasional, dan berperan aktif dalam pembuatan peraturan pelaksana.

Penulis : Trias Palupi Kurnianingrum, S.H., M.H.

Isu :
Peran PK Bapas dalam sistem peradilan pidana anak memegang peranan yang sangat penting. Posisi PK Bapas di dalam UU SPPA dikatakan sebagai mediator, di mana PK Bapas berperan sebagai ujung tombak dalam terwujudnya proses mediasi sebagai implementasi asas restorative justice yang diamanatkan UU SPPA. Meskipun PK Bapas mengalami banyak kendala atau hambatan di lapangan, namun PK Bapas tetap melakukan tugasnya dengan baik. Hal ini terlihat pada saat proses penanganan perkara baik pada tahap diversi, tahap penyidikan maupun pada tahap pemeriksaan pengadilan. Peran yang dilakukan oleh PK Bapas dinilai sudah sesuai dengan konteks perlindungan hukum ABH yang didasarkan pada prinsip-prinsip KHA dan UU Perlindungan Anak, mengingat perlindungan hukum merupakan hak bagi semua orang termasuk anak, ketika menjadi pelaku tindak pidana.


Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit dalam Pelayanan Kesehatan - 2015

Penulis : Sulasi Rongiyati, S.H., M.H.

Isu :
Tulisan ini melihat bahwa hubungan hukum antara pasien dengan tenaga kesehatan sebagai para pihak yang bersepakat melakukan persetujuan merupakan hubungan hukum teraupetik yang termasuk dalam ruang lingkup hukum perjanjian dan berimplikasi pada lahirnya hak dan kewajiban para pihak yang harus laksanakan sesuai isi perjanjian. Dalam hubungan tersebut ada kesanggupan dari tenaga kesehatan untuk mengupayakan kesehatan atau kesembuhan pasien, sebaliknya pasien menyetujui tindakan terapeutik yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. Dengan demikian persetujuan melakukan tindakan pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan terhadap pasiennya tunduk pada ketentuan hukum perjanjian, dalam hal ini ketentuan yang terdapat dalam KUHPerdata dan isi dari kontrak yang menjadi kesepakatan kedua belah pihak.

Penulis : Dian Cahyaningrum, S.H.. M.H.

Isu :
Hukum telah berfungsi dengan baik untuk mengatur rumah sakit dalam merekrut dan mempekerjakan tenaga kesehatan. Melalui pengaturan tersebut diharapkan tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit benar-benar profesional sehingga masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan dengan baik. Meskipun hukum telah berfungsi dengan baik untuk mewujudkan profesionalisme tenaga kesehatan, namun pada tataran praktik adakalanya terjadi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. Ada 3 aspek tanggung jawab yang dapat diterapkan pada tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien, yaitu tanggung jawab administratif, perdata, dan pidana. Tanggung jawab administratif dapat dimintakan kepada tenaga kesehatan yang melakukan pelanggaran yang bersifat administratif. Tanggung jawab perdata dimintakan kepada tenaga kesehatan yang terbukti telah melakukan kesalahan/kelalaian dalam memberikan pelayanan kesehatan sehingga menimbulkan kerugian yang tidak berakibat fatal (cacat atau kematian). Sedangkan tanggung jawab pidana dapat dimintakan kepada tenaga kesehatan karena telah melakukan kesalahan/kelalaian yang menimbulkan kerugian yang berakibat fatal.

Penulis : Harris Yonatan Parmahan Sibuea, S.H., M.Kn.

Isu :
Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (UU Rumah Sakit) diundangkan pada tanggal 28 Oktober 2009 menjadi dasar hukum rumah sakit untuk menjalankan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Beberapa substansi dari UU Rumah Sakit setelah dikaji belum bersifat responsif terhadap kebutuhan masyarakat antara lain pemetaan jumlah rumah sakit dan tenaga kesehatan (SDM) dari pusat sampai ke daerah belum merata penyebarannya, pemerintah tidak sungguh-sungguh memperhatikan anggaran kesehatan bagi pelayanan kesehatan masyarakat terbukti dari penurunan anggaran kesehatan dari tahun ke tahun, belum terbentuknya dewan pengawas rumah sakit, masih banyak rumah sakit yang hanya mementingkan profit atau keuntungan dibandingkan dengan pelayanan kesehatan bagi masyarakat kecil, serta belum jelasnya pengertian malapraktik atau kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan rumah sakit dimana antara malapraktik dan kelalaian memiliki pengertian dan konsekuensi hukum yang berbeda.


Tantangan dan Peluang Diplomasi Ekonomi Presiden Joko Widodo - 2015

Penulis : Lisbet, S.Ip., M.Si.

Isu :
Kekuatan pariwisata Indonesia ini dipahami betul oleh Presiden Joko Widodo. Oleh karena itulah, Presiden Joko Widodo meminta para duta besar Indonesia mengedepankan pentingnya diplomasi ekonomi. Para duta besar Indonesia harus mempunyai analisa yang mendalam untuk melihat potensi pariwisata di Indonesia yang sesuai dengan selera penduduk di negara penempatannya tersebut. Analisa potensi pariwisata ini diperlukan agar penetapan target jumlah wisatawan manca negara sebanyak 20 juta jiwa pada tahun 2019 dapat terwujud.


logo

Hubungi Kami

  • Gedung Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RI Lantai 7, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270
  • 021 5715 730
  • bkd@dpr.go.id

Menu

  • Beranda
  • Tentang
  • Kegiatan
  • Produk
  • Publikasi
  • Media

Sosial Media

  • Twitter
  • Facebook
  • Instagram
  • Linkedin
  • YouTube
support_agent
phone
mail_outline
chat